AJI dan PBHN Gelar Diskusi Jurnalistik dengan Tema Pemberitaan Ramah Anak
Diskusi Jurnalistik Tema Pemberitaan Ramah Anak.METROmini.Dedy |
KOTA BIMA - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Pusat Bantuan Hukum Mangandar (PBHM) gelar diskusi jurnalistik dengan tema pemberitaan ramah anak dengan sejumlah awak media di aula SMKN 3 Kota Bima yang dihadiri oleh pihak Kapolres Bima Kota, pihak Kapolres Bima Kabupaten, dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Bima,Sabtu (9/10/21).
Terkait pemberitaan terhadap anak yang ahir - ahir ini menjadi bahan perbincangan publik yang harus dijaga dan diperhatikan oleh segenap insan pers atau media, selain harus memperhatikan UU Pers dan ITE, juga perlu memahami pedoman pemberitaan ramah anak (PPRA) dengan harapan anak - anak tidak menjadi korban dua kali karena mereka punya masa depan, hal itulah yang menjadi alasan dilaksanakan diskusi terkait anak tersebut.
Kapolres Bima Kota melalui Kanit PPPA IPDA Ruslan menegaskan bahwasanya anak wajib dilindungi entah sebagai korban atau pelaku.
"Diharapkan agar kita semua tetap saling berkomunikasi dengan baik bersama pihak terkait lainnya dan juga teman - teman media, juga diharapkan agar berita yang disajikan tidak simpang siur dan dapat dipertanggungjawabkan,"harapnya
Ipda Ruslan menambahkan, Terkait dokumentasi pun diharapkan agar tidak langsung memperlihatkan identitasnya atau di blur saja, kemudian nama pun diharapkan agar digunakan inisial ,"harapnya
Sementara Pihak Polres Bima Kabupaten melalui Kasi Hukum Sade Suhendra, mengatakan, pemerintah bersama lembaga terkait lainnya harus bisa bersinergi atau bersama memberikan sosialisasi secara bersama- sama kepada semuanya.
"Mari kita sama-sama memberikan pemahaman dan Sosialisasi bersama -sama agar bisa meminimalisir kasus-kasus terhadap anak, mari teman-teman jurnalis kita kerja sama agar kasus-kasus anak dapat diminimalisir,"ajaknya
Sementara dari Lembaga Perlindungan anak (LPA) Kota Bima, Juhriati mengungkapkan, Hari ini merupakan sejarah bagi kita bagaimana kedepan agar bisa mewujudkan perlindungan anak sesuai tupoksi kita masing-masing dengan maksimal
"Hak anak merupakan hak yang tidak bisa dilupakan, yang wajib dilindungi oleh kita semua, baik Anak sebagai korban,Anak sebagai pelaku, maupun anak sebagai saksi, dan Ketiga item anak tersebut harus dapat dilindungi,"tegasnya
Pada tahun 2021, tambah juhriati, sebanyak 62 kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kota Bima dan diikuti kasus kekerasan fisik dan lainnya.
"Kasus kekerasan seksual pada tahun 2021 meningkat menjadi 62 kasus, dibanding dengan tahun sebelumnya hanya 10 sampai 12 kasus saja,"bebernya.
Direktur Pusat Bantuan Hukum Mangandar (PBHN), Yan Mangandar, SH, MH menyampaikan, upaya merahasiakan identitas anak dapat meminimalisir tindak kekerasan terhadap anak.
"Wajib hukumnya merahasiakan identitas anak yang berhadapan dengan hukum/ABH yaitu nama anak/keluarga,alamat, rumah/sekolah, wajah dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak baik masih hidup atau sudah meninggal, kawin atau belum dan menghindari konten seksual serta sadis,"jelasnya.
Kemudian,Atin dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram yang juga salah seorang jurnalis Bima menjelaskan, dalam menindaklanjuti Peraturan Nomor 1/Peraturan-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak oleh Dewan Pers mengharapkan media harus mampu menghadirkan solusi, baik anak sebagai korban, pelaku, atau saksi yang sedang berhadapan dengan hukum.
"Pedoman PPRA, rujukan dari UU No 35 tahun 2014 Pasal 64 (3) UU nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak yang menjadi korban tindak pidana dilindungi dari pemberitaan identitas melalui media massa untuk menghindari labelisasi,"katanya
Atin melanjutkan, media harusnya merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya, kemudian memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis, lalu, tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik. terus dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
"Dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan, kemudian tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK, terus tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan. Menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan pelaku. Apabila sudah diberitakan, maka wartawan/media segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan.Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan yang mengandung SARA, Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) dari media sosial dan Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak,"Imbuhnya.(RED)
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.