Pasar Lebaran Amahami, Wajah Gaduh di Tengah Inkonsistensi Pemkot Bima di Bulan Ramadhan dan Saat Pendemi
Kondisi Pasar Lebaran Amahami di Kelurahan Dara, Kota Bima yang akhirnya dibubarkan paksa Aparat Gabungan. METEROmini/Dok |
KOTA BIMA - Pasar Lebaran Amahami yang dilaksanakan sesuai dengan Surat Rekomendasi Pemerintah Kota Bima yang ditandatangani oleh Sekretaris Daerah dan diselenggarakan oleh Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Kota Bima sejak tanggal 2 hingga 12 Mei di Kelurahan Dara, Kota Bima.
Akhirnya, setelah mendapat perintah dari Kepolisaan Daerah (Polda) NTB, dilakukan pembongkaran paksa oleh Tim Gabungan yang terdiri dari Jajaran TNI/Polri dan Satuan Pol PP Kota Bima, Jum'at, 7 Mei 2021 siang.
Pihak Polda NTB menilai, pembongkaran ratusan lapak pedagang dinilai karena melanggar protokol kesehatan dalam pencegahan penyebaran Covid-19 saat ini. Saat pembongkaran, dihadiri langsung oleh Kapolres Bima Kota dan Dandim 1608/Bima di lokasi Pasar Lebaran Amahami.
Kabag Ops Polres Bima Kota, Kompol Nusra Nugraha menyampaikan, setelah rapat bersama dengan Pemerintah Kota Bima yang diwakili oleh Sekda dan Kasat Pol PP beserta Ketua Panitia dan APPSI, maka disimpulkan Pasar Lebaran tersebut harus dibongkar.
"Pembongkaran dilakukan oleh penyewa lapak, panitia dan difasilitasi oleh APPSI. Aparat gabungan hanya bersifat mengamankan pembongkaran tersebut," ujarnya.
"Ini perintah Kapolda NTB, karena kegiatan tersebut melanggar Prokes. Maka pasar itu harus dibongkar sekarang," katanya, Jum'at (7/5/2021).
Informasi yang dihimpun pun. Di dalam Pasar Lebaran tersebut, ada juga lapak yang diduga menggelar perjudian. Foto kegiatan perjudian itu pun menjadi viral di sosial media dan menuai sorotan tajam dari warga Kota Bima di tengah menjalankan berbagai bentuk ibadah di bulan Ramadhan tahun ini.
Kegiatan perjudian yang ada di dalam kawasan Pasar Lebaran Amahami di Kelurahan Dara, Kota Bima. METEROmini/Dok |
Sementara itu, Ketua Panitia Pasar Lebaran, Herman, M.Pd menerima pembongkaran tersebut. Sebab, itu menjadi ketentuan dan demi kebaikan bersama dalam menekan penyebaran Covid-19.
Namun, ia bertanya, apa bedanya pasar tradisional dan pasar lebaran, karena sama mengandung kerumunan.
"Kami minta agar diberikan izin untuk malam ini saja, biar pembongkaran dilakukan besok saja, jika tidak boleh kami juga tidak memaksa," pintanya.
Namun, keingingnan Herman itupun tak diindahkan pihak aparat. Kapolres Bima Kota AKBP Haryo Tedjo Wicaksono menjelaskan, soal pemberian izin oleh pihak Kepolisian saat awal kegiatan Pasar Lebaran ini dilangsungkan, karena panitia pelaksana Pasar Lebaran berjanji akan mengikuti Prokes Covid-19.
“Makanya kita membolehkan kegiatan Pasar Lebaran itu, karena janjinya akan mengikuti Prokes Covid-19,” ungkap Haryo di lokasi pembongkaran.
Namun, kata dia, setelah melihat perkembangan Pasar Lebaran dengan membludaknya orang yang datang. Dan kondisinya tidak mengikuti Prokes Covid-19, makanya dihentikan.
“Setelah beberapa hari kegiatan berjalan, ternyata pengunjungnya banyak yang tidak memperhatikan Prokes Covid-19, ini yang dikhawatirkan,” katanya.
Kapolres menegaskan agar tidak digelar Pasar Lebaran di bulan Ramadhan ini. Jika masih malam ini masih ada aktivitas jualan, pihaknya akan menindak tegas.
“Hari ini tidak boleh ada aktivitas jualan. Jika malam hari nanti kita lihat ada yang jual di Pasar Lebaran, akan kami tindak tegas,” tambahnya, dikutip dari kahaba.net.
Kendati sebagian besar menerima pembongkaran Pasar Lebaran, namun para pedagang mengaku rugi dan meminta kembali uang sewa sebesar Rp600 ribu sebagai biaya pendaftaran dari masing-masing pedagang yang sudah diserahkan ke panitia pelaksana.
"Kami merasa dirugikan dengan pembongkaran tersebut. Kami meminta uang sewa Rp 600ribu dikembalikan. Jika tidak semuanya, dapat dikembalikan sebagian," ujar seorang Pedagang wanita yang mengenakan jilbab hitam di arena pasar.
Menanggapi keinginan pedagang. Ketua Panitia Pasar Lebaran, Herman mengaku, lapak yang ada di pasar tersebut sebanyak 260 unit. Satu lapak disewa Rp600 ribu. Dari semua lapak itu, ada yang kosong juga ada yang belum bayar sewa.
Herman menegaskan, tidak ada pengembalian uang sewa lapak ke para pedagang, karena uang sewa tersebut sudah digunakan untuk kebutuhan operasional.
“Tidak ada pengembalian uang sewa lapak, karena sudah dipakai sewa listrik, sewa tenda dan lain sebagainya,” ujarnya, dikutip dari kahaba.net.
Proses pembubaran yang dilakukan oleh Aparat Gabungan di Pasar Lebaran Amahami di Kelurahan Dara, Kota Bima, Jum'at (7/5/2021) siamg. METEROmini/Dok |
Terpisah, Ketua Serikat Tani Nasional (STN) Provinsi NTB Irfan mengatakan, kegaduhan itu diakibatkan tumpang tindih dan tidak jelasnya Penegakan Protokol Covid 19 di Kota Bima. Di awali dengan kejanggalan Pemkot Bima yang secara inkonsisten melakukan penegakan Protokol Covid-19, sehingga banjir kritikan di Medsos menjadi viral.
“Kegaduhan adanya pembongkaran Pasar Lebaran tersebut telah menunjukan sikap inkonsistennya pemerintah dan yang tidak tahu apa yang harus dilakukan,” kritiknya, Sabtu (8/5).
Menurut dia, Satgas Covid-19 di Kota Bima yang sekaligus dipimpin Walikota Bima, berjalan dua tahun terakhir sudah menggelontorkan anggaran puluhan miliaran. Sumber dana dari Pemerintah Pusat maupun dari setoran PAD Pemerintah Daerah difokuskan untuk penanganan Covid-19, berbagai penanganan sudah dilakukan untuk memutuskan penyebaran Covid-19 di NTB.
Namun. kata doa. menjadi situasi yang mencemaskan, di saat negara yang hampir mengalami resesi ekonomi, akibat anggaran negara digunakan untuk difokuskan pada penanganan pandemi, baru-baru ini kebijakan pelarangan perjalan mudik Idul Fitri ditutup, pelabuhan-pelabuhan penyebrangan ditutup juga untuk sementara dibeberapa daerah, termaksud di NTB.
“Itu semua dikarenakan kekhawatiran muncul klaster baru, klaster mudik. Tapi justru di Kota Bima tumpang tindih tentang penanganan Covid-19, akibat diberikannya izin penyelenggaraan Pasar Lebaran,” ulasnya.
Untuk penyelenggaraan Pasar Lebaran, sambung Irfan, terdapat anggaran besar dari para pedagang. Bayangkan saja, ada 260 unit lapak ditarik retribusi senilai Rp 600.000 ribu selama 10 hari.
Setoran uang sebanyak itu dketahui melalui rekening Ketua Panitia yang ada di salah satu Bank. . Sementara, sesuai Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2020 tentang Retribusi Pasar di Amahami, ternyata tarifnya senilai Rp 1.000 rupiah/meter persegi. Apabila dihitung luas lapak tersebut tidak sampai 6×6 meter, lantas dari mana acuan retribusi Rp 600.000/lapak tersebut diterapkan selama 10 hari menjelang lebaran.
“Bukankah jika tidak sesuai dengan acuan Perda tersebut adalah tindakan pungutan liar dan dapat di indikasikan tindak pidana korupsi,” sorotnya.
Kata dia, jika uang refistrasi atau retribusi PKL tersebut tidak dikembalikan, pihaknya akan laporkan tindakan tersebut kepada aparat penegak hukum.
Di sisi lainnya. Anggota Komisi III DPRD Kota Bima Amir Syarifuddin menjelaskan, Pasar Lebaran tersebut mestinya sejak awal tidak diadakan di tengah kondisi daerah yang masih rawan terhadap penyebaran Covid-19.
“Keputusan memberikan izin rekomendasi oleh Sekda dan izin oleh Polres kami anggap keliru, karena tidak mengedepankan pertimbangan. Meskipun kebijakan itu mungkin didasarkan oleh pertimbangan ekonomi dan kemanusiaan,” ujarnya, Sabtu (8/5/2021).
Duta PKS itu menjelaskan, akibat Pandemi Covid-19 harus diakui membuat sektor industri dan usaha terpuruk. Maka hanya UMKM yang bisa menjadi motor penggerak, apalagi di saat momen menjelang lebaran, masyarakat membutuhkan pemasukan.
“Justru kebijakan ini semakin menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Bima selalu ambigu, inkonsisten dalam mengambil sikap baik. Pun demikian juga yang terjadi di tingkat pusat,” katanya.
Amir mengungkapkan, yang menjadi persoalan lain juga yang harus diperhatikan pemerintah dan Tim Gugus Tugas Covid-19 adalah, masih banyaknya sejumlah tempat wisata, swalayan, pasar malam, pelabuhan dan terminal yang ramai.
Menurutnya, di tengah masyarakat dilarang mudik, tetapi di sisi lain tenaga kerja asing mudah masuk. Sehingga pada akhirnya masyarakat menilai apa bedanya kerumunan di pasar dengan kerumunan di terminal, pelabuhan maupun bandara," jelasnya.
“Dengan berbagai kondisi serta kebijakan yang dilakukan saat ini, dapat menjatuhkan wibawa pemerintahan oleh masyarakat. Karena tidak ada ketegasan, dan seringnya aturan tidak dilaksanakan dengan baik,” kritiknya.
Ia berharap semoga dengan adanya peristiwa tersebut dapat menjadi pelajaran bersama, terlebih bagi pemangku kebijakan. Meskipun niat baik kalau dijalankan dengan cara yang salah, maka hasilnya sudah pasti bermasalah.
“Semoga ini menjadi pengalaman dan pelajaran, agar ke depan sebelum mengambil keputusan untuk menelaah dari berbagai sisi agar dapat berjalan baik. Kami juga menyampaikan pada pedagang yang dirugikan dengan kejadian ini untuk sabar karena ini untuk kebaikan kita bersama,” tambahnya. (RED)
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.