Sikap Pemkab Bima Terhadap Patung di Pantai Wane, "Antara Kebohongan dan Kebodohan"

Keberadaan patung di Pantai Wane, Kecamatan Monta, Kabupaten Bima yang disorot warga di Bima. METEROmini/Dok
Oleh: Rifaid Majid

OPINI  - Adanya Kebohongan karena ketidakmampuan seseorang untuk menjelaskan apa yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya. Dan dalam upayanya menjelaskan suatu persoalan kebodohan seringkali muncul untuk memberi keseimbangan terhadap kebohongan yang sedang diucapkannya. Kalau hal semacam terjadi terjadi, ia akan terlihat tidak tahu mau berbuat apa alias dungu. Tandan-tanda yang disebutkkan tadi dapat kita lihat dari sikap Pemerintah Kabupaten Bima dalam merespon kehebohan warga masyarakat terkait keberadaan Patung yang disembah oleh keyakinan tertentu di Pantai Wane

Dilansir dalam sebuah media online. Bupati Bima melalui Kabag Humas dan Protokol Setda Kabupaten Bima, M. Chandra Kusuma, AP, sebelumnya memberikan himbauan kepada masyarakat kabupaten Bima lebih khususnya para pengguna media sosial agar bisa menahan diri dan tidak menginformasikan keberadaan patung di lokasi pantai wane secara berlebihan. 

Lebih lanjut dia mengatakan, atas nama Pemerintah Kabupaten Bima, Bupati Bima mengharapkan kepada masyarakat agar tetap bisa menjaga kondusifitas daerah ini. Menurut Kabag Humas, Pemerintah Kabupaten Bima telah mengarahkan kepada Dinas/OPD teknis untuk berkomunikasi dengan pemilik lahan yang digunakan tempat adanya patung tersebut, dan meminta kepada Pemerintah Kecamatan dan Pemerintah Desa setempat untuk mengidentifikasi penerimaan masyarakat sekitar terkait keberadan patung yang menjadi bahan pembicaraan saat ini.  (www.lensapost.com, Senin, 21 Oktober 19. 

Pemda tidak seharusnya menghimbau masyarakat untuk tenang dalam kekagetan, karena keberadaan patung itu membuat warga masyarakat bertanya-tanya, ada apa? Dan himbauan itu sebenarnya tidak etis secara kultur dan nilai kearifan lokal setempat, sebab dapat menimbulkan ketersinggungan di tengah kehidupan masyarakat yang mayolitas Islam.

Lebih daripada itu, Pemda tidak berusaha untuk menjelaskan keberadaan patung-patung tersebut dengan argumentasi yang bisa diterima secara memuaskan bagi seluruh warga masyarakat, tapi malah membiarkannya mengawang tanpa kejelasan dengan dalih menjaga kondusifitas daerah. Dan dalam asumsi yang disampaikan oleh pihak pemerintah daerah yang mengatakan bahwa akan melakukan identifikasi terkait keberadaan patung Budha itu dengan pihak pemerintah kecematan dan pemerintah Desa setempat dan juga pemilik lahan dimana patung-patung tersebut berada, justru dengan begitu akan membuat warga masyarakat semakin curiga dan tidak tutup kemungkinan, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah malah semakin terkuras di tengah keinginan mayoritas warga di Bima untuk membongkar keberadaan patung itu.

Sebenarnya kalau kita mengamati secara seksama, apa mungkin keberadaan patung-patung itu tidak diketahui oleh pemerintah daerah? Bagaimana mungkin suatu bangunan didirikan ditempat wisata tidak diketahui oleh Pemda selaku pemberi ijin (IMB)? Ataukah pemerintah daerah sedang melakonkan kebohongan dalam menghindari pertanyaan warga masyarakat terhadap keberadaan patung-patung itu?

Dengan pertanyaan-pertanyaan ini, mungkin bisa memberi kesempatan kepada kita untuk melihat wacana sosial-ekonomi yang berkembang di Kabupaten Bima, di mana destinasi pariwisata menjadi salah satu ikon penting pendapatan daerah Kab. Bima. Saya sendiri berpendapat bahwa keberadaan patung-patung Budha di Pantai Wane memberikan indikasi bahwa kekuasaan dan kaum borjuasi (pemilik modal) sedang berselingkuh untuk mendapatkan keuntungan dengan merencanakan upaya untuk menghegemoni dengan semangat kapitalisme di bidang Pariwisata yang ada di Kabupaten Bima.

Kepentingan kapitalisme dalam bidang pariwisata tidak bisa dihindari. Sebab pariwisata menjadi salah satu lumbung pendapatan daerah dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini memungkinkan bagi kita untuk berpikir bahwa keberadaan patung di Pantai Wane bisa jadi karena ada kongkalikong antara kekuasaan dengan kaum kapitalis. Perselingkuhan ini cukup beralasan dalam alam demokrasi modern, sebab kekuasaan hanya bersedia setia pada kaum kapitalis demi modal untuk berkuasa lebih lama. Tapi setidaknya pemerintah harus jujur dalam menyikapi persoalan.

Tampaknya himbauan pemerintah daerah tersebut berbaur kekhawatiran, karena tidak menginginkan kesetiaannya terhadap kapitalisme diganggu oleh kepentingan lain, termasuk oleh kepentingan rakyat. Persekongkolan ini tercium dari argumentasi kebohongan yang diucapkan oleh pemerintah dan hal tersebut terlihat sangat bodoh. Ini bisa diidentifikasi dari narasi yang disampaikan oleh pemerintah daerah seperti yang dijelaskan sebelumnya. Argumentasi pemerintah daerah tadi terlalu naif untuk menjelaskan tanda tanya warga masyarakat terkait keberadaan patung-patung tersebut. Untuk itu pemerintah menghimbau warga masyarakat untuk tenang dengan dalih supaya tidak menimbulkan isu sara.

Hal ini dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mengambil waktu lebih lama, supaya kepentingan kapitalisme bisa berjalan dengan mulus tanpa ada suara protes labih lanjut dari masyarakat. sebenarnya, isu sara yang diucapkan oleh pihak pemerintah daerah tersebut tidak relevan dijadikan sebagai alasan untuk menghentikan suara masyarakat yang bertanya, karena hal tersebut bertolak belakang dengan kultur budaya masyarakat setempat yang mayoritas muslim. 

Pertanyaannya, sejak kapan masyarakat Kabupaten Bima punya cakar budaya dari patung yang disembah oleh kepercayaan lain? Hal ini bisa dilihat dalam geneologi sejarah kebudayaan masyarakat Kabupaten Bima yang diidentikkan dengan budaya Islam.

Jangan-jangan kekuasaan tidak paham akan sejarah kebudayaaan masyarakat Kabupaten Bima atau karena memang ingin menutupinya dengan kebohongan, tapi upaya sangan terlihat bodoh. Wallahu'alam bissawab.

Related

Opini 1644351158739341760

Posting Komentar

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.

emo-but-icon

FANSPAGE METROMINI

METROMINI VIDEO

Arsip Blog

Ikuti Tweet Metromini

item