Maraknya Pernikahan Usia Dini di Indonesia
https://www.metromini.info/2020/03/maraknya-pernikahan-usia-dini-di.html
Mila Fuji Agustina, Mahasiswi semester dua Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang. METEROmini/Dok |
Oleh: Mila Fuji Agustina
OPINI - Pernikahan usia dini telah banyak berkurang di berbagai belahan negara dalam tiga puluh tahun terakhir, namun pada kenyataannya masih banyak terjadi di negara berkembang terutama di pelosok terpencil. Pernikahan usia dini terjadi baik di daerah pedesaan maupun perkotaan di Indonesia serta meliputi berbagai strata ekonomi dengan beragam latar belakang. Berdasarkan Survei Data Kependudukan Indonesia (SDKI) 2007, di beberapa daerah didapatkan bahwa sepertiga dari jumlah pernikahan terdata dilakukan oleh pasangan usia di bawah 16 tahun.
Jumlah kasus pernikahan dini di Indonesia mencapai 50 juta penduduk dengan rata-rata usia perkawinan 19,1 tahun. Bahkan di sejumlah pedesaan, pernikahan sering kali dilakukan segera setelah anak perempuan mendapat haid pertama.Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus dihadapi sebagian anak di seluruh dunia, terutama negara berkembang. Meskipun Deklarasi Hak Asasi Manusia di tahun 1954 secara eksplisit menentang pernikahan anak, namun ironisnya, praktek pernikahan usia dini masih berlangsung di berbagai belahan dunia dan halinimerefleksikan perlindungan hak asasi kelompok usia muda yang terabaikan.Implementasi Undang-Undang pun sering kali tidak efektif dan terpatahkan oleh adat istiadat serta tradisi yang mengatur norma sosial suatu kelompok masyarakat.
Faktor yang mendorong maraknya pernikahan pada usia dini dikarenakan pergaulan bebas atau kecelakaan, di mana anak perempuannya telah hamil duluan sehingga harus di nikahkan.Bahayanya pergaulan bebas dikalangan anak dan kurangnya pengawasan dari orang tua, juga pengaruh dari penggunaan alat-alat elektronik maupun internet. Akibatnya banyak anak dibawah umur yang harus dinikahkan lantaran pasangannya hamil akibat melakukan hubungan layaknya pasangan suami-isteri.
Selain itu, remaja perempuan yang sudah menikah muda dan mengalami kehamilan tidak diinginkan akan cenderung minder, mengurung diri dan tidak percaya diri karena mungkin belum mengetahui bagaimana perubahan perannya dari seorang remaja yang masih sekolah keperan seorang ibu dan isteri saat harus menjadi orang tua di usianya yang masih muda.
Akibat dari perkawinan pada usia dini ini akan berpengaruh terhadap pendidikan, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dampak terhadap kesehatan reproduksi, anak yang dilahirkan dan kesehatan psikologi anak, serta tinjauan hukum terkait dengan pernikahan anak.
Meninjau ulang UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Terkait hal ini, kedua Undang-undang tersebut memiliki perbedaan mengenai ketentuan batas minimal usia menikah sehingga terkadang masyarakat menjadi rancu dan justru menggunakan salah satu Undang-Undang tersebut (UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) untuk melegalkan perkawinan anak di usia muda. Dalam hal ini, idealnya suatu kebijaka nundang-undang memiliki persamaan sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan tentunya melihat berbagai aspek penting tidak hanya dari sudut pandang kesehatan saja tapi dari segi ekonomi, pendidikan, psikologis, dan lainnya.
Terkait dengan kesehatan reproduksi dan pernikahan dini, maka dokter anak berperan serta dalam memberikan penyuluhan pada remaja dan orang tua mengenai pentingnya mencegah terjadinya pernikahan di usia dini serta membantu orang tua untuk dapat memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak sesuai tahapan usianya. Dokter anak juga sangat berperan penting untuk membantu remaja untuk mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi juga alat kontrasepsi, menilai kemampuan orang tua berusia remaja dalam mengasuh anak untuk mencegah terjadinya penularan atau perlakuan salah pada anak, serta berpartisipasi dalam masyarakat untuk mencegah terjadinya pernikahan di usia dini.
Fenomena pernikahan pada usia anak di daerah lainya tidak lah jauh berbeda mengingat fakta perilaku seksual remaja yang melakukan hubungan seks pra-nikah sering berujung pada pernikahan dini serta kultur masyarakat Indonesia yang masih memosisikan anak perempuan sebagai warga kelas kedua dan ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan ekonomi dan sosial. Anggapan pendidikan tinggi tidak penting bagi anak perempuan dan stigma negatif terhadap status perawan tua. Posisi tersebut dalam perspektif kesetaraan dan keadilan gender berarti telah memarginalkan pihak perempuan.
Tingginya angka pernikahan usia anak, menunjukkan bahwa pemberdayaan law enforcement dalam hukumbperkawinan masih rendah. Apapun alasannya, masa muda adalah masa yang sangat indah untuk dilewatkan, dengan hal-hal yang positif. Masa muda adalah waktu untuk membangun emosi, kecerdasan dan fisik. Ketiganya merupakan syarat dalam menjalani kehidupan yang lebih layak pada masa depan. Fenomena tersebut menuntut perhatian semua pihak untuk memperhatikan masa depan anak sebagai generasi yang akan melanjutkan pembangunan bangsa dan negara.
Di mana peran pemerintah sangat penting untuk mengurangi pernikahan pada usia dini.Karena Pemerintah Daerah/desa wajib berperan guna menangani maraknya fenomena pernikahan di bawah umur. Dan yang paling berpengaruh yakni peran pemerintah itus endiri, guna mengatur perikehidupan masyarakatnya agar terarah dengan baik.
Adapun Peran Pemerintah Daerah terhadap Pernikahan usia dini yakni dengan berbagai macam tahap:
1. Tahap Pendekatan Personal Tahap yang pertama bisa dilakukan oleh pihak pemerintah untuk menangani maraknya pernikahan dini yakni dengan pendekatan personal dengan cara menasihati. Tahap ini dilakukan oleh Pegawai PencatatbPernikahan, pada saat ada masyarakat yang mendaftar pernikahan, tetapi dalam persyaratan tersebut yang tidak sesuai dengan UU Perkawinan di Indonesia.
2. Tahap Pendataan Pada tahap ini, pendataan tersebut dilakukan pada pemerintahan kepala desa. Pemerintah banyak menemukan suatu pernikahan dini. Namun, pemerintah tidak bertanggung jawab dengan adanya peristiwa pernikahan tersebut.
3. Tahap Sosialisasi Mengasi pernikahan dini yakni dengan cara sosialisasi kemasyarakat yakni melalui suatu kegiatan kemasyarakatan misalnya peringatan maulid nabi, gotong royong, posyandu dan lain-lain, pada saat sambutan, kepala desa dengan memberi motivasi kepada orang tua untuk melanjutkan kepada para anak-anak agar melanjutkan Pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, minimal lulusan SMA/MA, dengan begitu anak-anak yang berniat melakukan pernikahan sudah cukup umur dan sesuai dengan ketentuan di dalam UU Perkawinan, sehing terbebas dari tindak pelanggaran atas undang-undang.
4. Ditanggungkan Surat Nikah Surat nikah yang dipersulit atau dengan proses pembuatan yang sangat rumit, namun masih saja masyarakat tidakbmemperdulikan hal tersebut. Dengan cara agar masyarakat yang berniat melakukan pernikahan dini agar diberikan efek jera. Karena, jika fenomena ini terus berlanjut, maka tidak hanya memerlukan biasya yang kecil.
5. Perketat Undang-Undang Perkawinan Masyarakat akan merasa takut pabila ingin melangsungkan pernikahan di bawah umur, dikarenakan pemerintah daerah, pemerintah desa maupun Kantor Urusan Agama (KUA) sudah mulai memperketat aturan-aturan mengenai pernikahan. Hal ini dilakukan agar dapat meminimalisir fenomena pernikahan dini.
Dapat disimpulkan bahwa di sini kita tidak bisa menutup matabkarena tingkat pernikahan dini di Indonesia sangatlah tinggi, itu karena didukung oleh keadaan lingkungan yang salah dan bimbingan atau pengetahuan dari orang-orang tua juga salah. Oleh sebab itu perlulah suatu bimbingan yang memadai agar mencegah terjadinya suatu pernikahan dini. Karena banyak dampak negative dibanding dampak positif dari pernikahan dini. Dibuktikan bahwa jumlah perceraian dan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang meningkat.
Anak perempuan adalah yang paling dirugikan dalam pernikahan dini, karena mereka cenderung di nikahkan dengan laki-laki yang sudah dewasa. Banyak hal yang harus ditanggung oleh anak perempuan, itu mengakibatkan kondisi psikologisnya bahkan akan terganggu.
Lalu, pernikahan dini, mengakibatkan kenaikan jumlah kelahiran penduduk di Indonesia. Dan meningkatnyaj umlah pengangguran di Indonesia. Itu tentu bukan hal yang mudah bagi pemerintah Indonesia, karena pengangguran sampai saat ini pun belum juga terselesaikan. Peran pemerintah sangat diperlukan untuk lebih mempertegas peraturan atau undang-undang perkawinan di Indonesia. Bahkan, undang-undang perkawinan di Indonesia seakan-akan tidak memiliki bobot, sehingga seakan-akan diabaikan oleh masyarakat di Indonesia. Lalu, undang-undang perkawinan seakan-akan tidak memiliki makna lagi.
Pengetahuan yang kurang merupakan faktor penyebab maraknya pernikahan dini, terutama di daerah pedesaan. Daerah pedesaan cenderung jauh dari akses informasi, sehingga sangatlah diperlukan sosialisasi untuk mencegah terjadinya pernikahan dini. ***
========
*) Penulis adalah Mahasiswi semester dua Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang.
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.