Catatan Relawan Bima di Palu, "Antara Keajaiban dan Tulisan Turunkan Walikota Pemuja Setan"

Kondisi Masjid Akhram Babul Rahman atau masjid apung di Pantai Kampung Lere, Palu, Sulteng, Selasa (16/10/2018) lalu. ANTARA FOTO/Basri Marzuki
"Dunia adalah tempat yang licin nan menggelincirkan, rumah yang hina, bangunan-bangunannya akan runtuh, penghuninya akan beralih ke kuburan, perpisahan dengannya adalah sesuatu keniscayaan, kekayaan di dunia sewaktu-waktu bisa berubah menjadi kemiskinan, bermegah-megahan adalah suatu kerugian, maka memohonlah perlindungan Allah, terimalah dengan hati yang lapang segala karunia-Nya." - Imam Syafi'i

KOTA PALU - Gempa berkekuatan 7.4 SR mengguncang dengan episentrum dekat Kota Donggala Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018) petang lalu. Gempa turut dirasakan hingga ke Kota Palu dan Mamuju. Sesaat setelah gempa besar merontokkan bangunan, gelombang tsunami itu datang, menyapu habis Kota Palu hingga ratusan meter.

Hingga Jumat (28/9/2018) malam lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut bahwa secara total ada 58 gempa susulan. Gempa susulan terdiri dari 31 gempa susulan pascagempa dengan magnitudo 7,7 yang terjadi pukul 17.02 WIB dan 27 gempa susulan setelah gempa pertama yang terjadi sekitar pukul 14.00 WIB di hari Sabtu, 29 September 2018.

Sudah tiga minggu bencana dan duka melanda Provinsi Sulawesi Tengah itu. Menurut seorang korban, Akbar, warga kampung Kabonena, Kota Palu, Sulawesi Tengah, yang kehilangan putranya akibat likuifaksi di Perumahan Balaroa meyakini bahwa gempa di Palu dan sekitarnya tidak terlepas dari "hukuman Tuhan" akibat ulah manusia.

"Katanya sih ada lempengan (bumi) yang melalui Palu. Tapi, menurut saya, salah-satu faktor utama adalah (praktik) mistis (yang digelar dalam Festival Nomoni di Kota Palu)," ungkapnya, dilansir dari BBC News Indonesia, Kamis (17/10/2018) lalu.

Akbar tidak memungkiri bahwa bencana itu akibat pergeseran patahan Palu Koro, tetapi dia mengaku tidak dapat melepaskan dari keyakinannya dalam menafsir ajaran Islam dalam melihat bencana itu.

Dia kemudian merujuk kepada acara yang digelar pemerintah Kota Palu di pinggir pantai, Festival tidak lama sebelum gempa mengguncang wilayah itu, yaitu Festival Nomoni, yang disebutnya ada praktik syirik - menyekutukan Tuhan - di dalamnya.

Catatan Relawan Asal Bima, Fahru Rizki 

Tulisan status di Facebook milik Fahru Rizki. FACEBOOK/Fahru Rizki
Seorang pemuda asal Kota Bima, Fahru Rizki yang mengabdikan dirinya menjadi relawan bencana di Kota Palu dan sekitarnya menuliskan beberapa catatan yang ditemukannya selama menjadi relawan kemanusiaan di sana. Sebelumnya, Fahru terlibat aktif dalam kegiatan kemanusiaan pasca bencana alam gempa bumi yang melanda Pulau Lombok bulan Sepetember lalu.

Tepat hari Jum'at, 12 Oktober 2018, Fahru yang tergabung dalam komunitas Tim Gerak  Bareng (TGB) tiba di Bandar Udara Mutiara SIS Al-Jufrie, Kota Palu. Sudah hampir sepekan ia membantu para korban bencana gempa bumi dan juga tsunami tersebut. Setiap harinya, Fahru mencatat banyak hal yang ditemukannya di Palu, Ia mengaku, banyak menumukan keajaiba di sana.

Berikut catatan yang dihimpun Metromini yang dikutip dari lini masa milik intelektual muda di Kota Bima itu:

1. Petunjuk Gaib Dipercaya Warga

Tiba di Kota Palu, Jum'at, 12 Oktober 2018. Malam itu, Fahru  beristirahat di Pantai Talise, Ia mengaku, melihat dua orang yang sedang berjalan mengelilingi pantai sambil mengangkat reruntuhan. Di sekitar pantai, memang banyak bangunan-bangunan yang rubuh akibat diterjang gempa dan tsunami.

"Mereka berdua terlihat kelelahan. Mereka beristirahat di bawah pohon. Saya pun mendekati dan berkenalan. Namanya Pak Anto dan Rahmat dari Donggala. Saya pun menyempatkan diri bertanya kenapa dari tadi mengelilingi reruntuhan di sekitar pantai," tulis dia.

Ternyata, sambung Fahru, mereka berdua sedang mencari jasad keponakan perempuannya yang biasa jualan kerupuk di Pantai Talise. Jasadnya belum ditemukan hingga kini. Mereka dapat info jasadnya di sekitar Pantai Talise.

"Info yang mereka dapat pun terbilang cukup unik. Yaitu dari seorang yang kesurupan arwah keponakannya yang mengatakan bahwa jasadnya masih ada di antara reruntuhan bangunan sekitar pantai," tulis dia.

Ketika tsunami, lanjutnya, keponakannya sempat telepon dari atas jembatan kuning. Dan itupun suara terakhir yang mereka dengar.

2. Kapal Sepanjang 200 Meter Terseret Gelombang 9 Meter

Di hari kedua kehadirannya di Palu. Sabtu, 13 Oktober 2018, Fahru menuliskan tentang sebuah kapal yang dihantam tsunami, Jum'at, 28 September 2018 lalu itu. Tragedi tsunami yang terjadi sore hari itu cukup besar. Hantaman tsunami di Desa Wani, Palu telah meratakan seluruh rumah yang ada di tepi pantai.

Ia pun sempat mewawancarai warga di Desa Wani. Menurut warga, saat berjalan menuju rumah sepulang dari melaut, tiba-tiba terjadi gempa. Bbeberapa detik kemudian teriakan tsunami. Seluruh warga berhamburan  dan lari. Banyak juga banyak yang tidak sempat menyelamatkan diri.

"Tsunami menyapu bersih Pesisir Memboro. Ombak dengan ketinggian 9 meter lebih itu hingga membuat terdampar salah satu kapal muatan bernama "Sabuk Nusantara 39" yang terlempar hingga ke dalam Desa Wani," tulis Fahru.

"Kapal sepanjang ±200 meter ini hingga kini masih terdampar di desa tersebut. Tak hanya kapal, juga ABK (Anak Buah Kapal) masih berada di atas kapal saat ini," sambung dia.

3. Takut Likuifaksi, Warga Merasa Aman di Gunung

Fahru melanjutkan, saat ia tiba di Desa Rogo, Dolo Selatan, Kabupaten Sigi. Tampak desa itu begitu sepi. Terlihat beberapa ibu-ibu yang sedang masak.

Ternyata para penyintas itu memilih gunung sebagai tempat pengungsian mereka.

"Saya agak heran kenapa mereka memilih gunung. Jika takut tsunami, sementara jarak pantai dengan desa mereka sangat jauh sekali," tulis dia.

Ternyata, sambung Fahru, bukan tsunami yang mereka takuti, tapi Likuifaksi. Karena tanah desa mereka sekarang turun dua  meter ke bawah dari permukaan normalnya.

"Tiap ada gempa lanjutan tanahnya beberapa centimeter turun," tulis Fahru yang mengutip keterangan kata seorang warga.

Saat ini, mereka merasa aman di atas gunung. Namun kebutuhan dapurnya yang sangat urgen bagi mereka.

4. Sekitar 5.000 orang di Balaroa dan Petobo Hilang

Di hari selanjutnya, Minggu, 14 Oktober 2018, Fahru menuliskan tentang catatan orang hilang yang melanda wilayah Balaroa dan Petobo. Menurutnya, hingga kini, orang hilang sudah mencapai 5.000 orang di Balaroa dan Petobo.

Namun, kata dia, saat ini pencarian telah dihentikan. Harapan dan doa masih tampak pada wajah keluarga mereka.

5. Posisi Kampung Jono Oge Bergeser 5 KM

Selain bencana gempa bumi 7,4 SR dan juga tsunami, ternyata ada bencana lain yang melanda wilayah di Sulteng, seperti di Jono Oge. Kabupaten Sigi. Bencana ini dikenal dengan istilah Likuifaksi (fenomena yang terjadi ketika tanah yang jenuh atau agak jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan, misalnya getaran gempa bumi atau perubahan ketegangan lain secara mendadak, sehingga tanah yang padat berubah wujud menjadi cairan atau air berat).

Pada kondisi bencana yang melahirkan gelombang tersebut, sebuah kampung bernama Jono Oge, di Kabupaten Sigi tergeser atau pindah sejauh 5 kilo meter dari lokasi sebelumnya. Jono Oge yang memiliki jumlah kepala keluarga sekitar 1.500 itu merupakan salah satu kampung yang sudah hilang tertelan oleh Bumi karena terjadinya likuifiksi.

Menurut seorang warga asli Jono Oge, Ibu Syarafiah. hanya 10% warga yang selamat. Dan itupun warga yang keluar rumah saat adzan Maghrib dan pergi sholat berjamaah. Saat gempa mulai datang, selang beberapa detik rumah tiba-tiba terhanyut dalam lumpur. Sebagian rumah bergeser sejauh 5 kilo meter. Posisi kampung diganti oleh kebun jagung yang awalnya terletak di atas kaki gunung.

Ibu Syarifah mengaku, mereka sekeluarga bersyukur karena sempat keluar untuk pergi sholat di masjid. "Bayangkan jika kami tidak keluar rumah untuk menuju Masjid. Mungkin tidak bisa dibayangkan lagi," tulis Fahru yang merilis keterenagan Ibu itu.

Selain itu, ada kisah keajaiban dari seorang anak perempuan dan ayahnya yang bertahan di batang pohon kelapa. Saat lumpur naik ke permuaan tanah. anak dan ayahnya ini sempat terendam. Bersyukur ada pohon kelapa untuk dipegang.

Namun karena terendam lumpur, kulit keduanya terkelupas dan rambutnya harus dicukur karena perih akibat panasnya lumpur. Kini kampung Jono Oge telah hilang di permukaan tanah. Kampung itu hilang dalam hitungan detik ditelan oleh bumi.

6. Ada 25 Titik Longsor Menuju Donggala

Di hari kelima setibanya di Palu, Fahru Rizki beranjak ke Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Ia pun menjajal desa-desa paling pelosok di Donggala wilayah Pantai Barat. Informasinya, banyak penyintas yang belum tercover oleh bantuan logistik.

Perjalanan dari Palu ke Donggala bisa mencapai 3 jam. Ditambah lagi adanya perberhentian akibat pembenahan longsor akibat gempa di Gunung Bosa.

Di gunung itu, terdapat 25 titik longsor sepanjang jalan trans pantai barat.  Karena itu, warga di desa-desa wilauah sana, sangat lambat masuk dan mendapat logistik. Sebab ini pula, tercipta banyak hoax yang mengisahkan adanya warga yang mati kelaparan.

"Bersyukur 1 ton beras dan makanan tambahan anak tersalurkan pada tempat pelosok-pelosok di Donggala Pantai Barat. Perjalanan sedikit menegangkan melewati longsoran kalau melintas di waktu malam," tulis dia.

7.  Pemakaman Massal 2.073 Jiwa di Palu

Fahru menuliskan, para korban bencana gempa dan tsunami yang telah meninggal dunia, kini beristirahat dengan tenang di Pegunungan Peboya. Pemakaman tersebut, terletak di atas dataran tinggi di Kota Palu. Jumlah korban yang meninggal di Kota Palu dari data yang ter-update terakhir yaitu 2.073 jiwa. Kini, semuanya di makamkan di Peboya.

Kata dia, dari ribuan mayat yang dimakamkan ada yang teridentifikasi dan ada juga yang tidak. Sebabnya, kondisi mayat banyak yang susah tidak dikenali lagi. Hingga kini masih ada 843 orang dinyatakan hilang di Kota Palu.

"Mari kirimkan doa untuk mereka...," tulis dia.

8. Nosarara Nosampesuvu

 Nosarara Nosampesuvu, ungkapan itu adalah Moto yang ada di Suku Kaili (Sulawesi Tengah). Artinya, "Kita Bersaudara Kita Berkeluarga."

9. Salon Free Day

Jum'at (18/0/2018) pagi, Fahru memilih bersepeda untuk keliling di Masomba, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu. Ia pun menemui sesuatu yang menarik. Kata dia, kalau di Lombok jarak masjid tiap kelurahan hanya sekitar 100 - 200 meter dan bunyi adzan yang saling bersahutan antara satu sama lain.

Tapi di Masomba, jarak 20-100 salon saling berdempetan malah satu deret juga bangunannya. Kawasan salon-salon ini adanya  di wilayah pasar Masomba. Sekitar 20 salon yang terhitung saling berdekatan. Suara gunting dan hair dryer saling bersahutan satu sama lain.

"Nyalon yuk...eh...nyablon yuk," centil dia dalam tulisannya,

10. Bendera Tanda Kematian

Memasuki Balaroa, Kota Palu, lanjut Fahru, terlihat bendera-bendera yang berkibar di setiap reruntuhan bangunan. Bendera-bendera itu, menandakan bangunan masih ada mayatnya yang belum dievakuasi. Pada Perumahan Perumnas Balaroa terdapat sekitar 5.000 jiwa atau sebanyak 800 KK.

Kata dia, jasad yang baru ditemukan sekitar 200 orang. Ada juga ditemukan berupa potongan tangan dan kaki. Pagi hingga sore ada beberapa orang yang masih mencari jasad keluarga mereka diantara reruntuhan bangunan.

11. Festival dan Bencana

Fahru menuliskan, jika anda bertanya kenapa gempa dan tsunami terjadi di Palu? Satu yang mereka jawab "Gara-gara Festival Nomoni, Allah murka".

Festival Nomoni sudah dua tahun berjalan sejak 2016 silam. Apa yang dilakukan pada festival itu, yaitu ritual kuno leluhur Kaili dan persembahan laut yang sudah lama ditinggalkan. Parahnya, sekarang dikembalikan lagi, kata warga palu.

Sejak awal festival ini ditentang oleh sebagian masyarakat. Awal pembukaan tahun 2016 lau, disambut dengan datangnya angin puting beliung, pada tahun 2017, warga digigit buaya hingga meninggal. Dan sekarang ditegur dengan gempa dan tsunami. 

"Mereka sudah melampaui batas, kisah warga," tulis Fahru,

Sambung dia, di kota banyak didapat cacian untuk Wali Kota Palu seperti dibeberapa tembok di sana. Warga menulis, "Walikota Mati Saja" ada juga tulisan "Turunkan Walikota Pemuja Setan" dan lainnya. 

Namun yang sangat menjadi sorotan sebuah tulisan di tembok Petobo ada tertulis "Korban Palu Nomoni Cuk*", Tulisan ini pun tempat korban terbanyak akibat likuifaksi.

"Masyarakat marah dan kecewa. Kami akan turunkan dia (Wali Kota,red), kata warga," tutup Fahru dalam catatn yang di hastagnya #sultengberduka itu.

Apa Kata Pasha Ungu, Wakil Wali Kota Palu?

Di sisi yang berbeda, pihak Pemerintah Kota Palu, melalui Wakil Wali Kota, Sigit Purnomo Syamsuddin Said alias Pasha Ungu menilai, gempa bumi dan tsunami yang menerjang Palu adalah cobaan yang sedang dihadapi oleh Pemerintah dan masyarakat saat ini. 

Namun, di tengah upaya membangkitkan Palu pascagempa dan tsunami, suara-suara miring datang mengarah kepadanya. Banyak yang menyebut suami Adelia Wilhelmina itu tidak maksimal dalam menangani musibah. Pasha Ungu pun menerima anggapan tersebut. Ia bahkan siap mundur bila dianggap tak maksimal dalam bekerja.

"Saya secara pribadi sebagai wakil wali kota kalau memang dianggap tidak maksimal menjalankan pemerintahan, saya tidak ada masalah. Saya siap diturunkan atau mengundurkan diri," ujar Pasha Ungu dikutip dari www.planetmerdeka.com, Kamis 18 Oktober 2018 lalu. 

Ayah tujuh anak ini tidak ambil pusing terhadap kelompok masyarakat yang sengaja memperkeruh suasana warga di Palu. Dirinya tetap ingin membangkitkan kembali kota Palu usai dilanda bencana pada 28 September 2018.

"Kami tidak peduli dihujat, kami tidak mau pusing dihina sampai dikatakan tidak mampu, saya secara pribadi tanpa membawa unsur-unsur pemerintah berusaha bekerja. Kalau setelah ini, saya (mundur), mungkin pak wali kota seperti apa nanti, bagaimana tanggapan beliau, saya belum tahu," katanya. (RED | BBCNEWS INDONESIA | WWW.PLANETMERDEKA.COM)

Related

Kabar Rakyat 8176867466741179600

Posting Komentar

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.

emo-but-icon

FANSPAGE METROMINI

METROMINI VIDEO

Arsip Blog

Ikuti Tweet Metromini

item