Gempa di Lombok, Warga Adat Diselamatkan Warisan Leluhur
https://www.metromini.info/2018/08/gempa-di-lombok-warga-adat-diselamatkan.html
Perkampungan adat Desa Beleq, Lombok Utara, tetap utuh mesti gempa menghantam berulang kali. GOOGLE/www.mongabay.co.id |
KABUPATEN LOMBOK UTARA - Pada sebuah situs www.mongabay.co.id, seoramg penulis bernama Fathul Rakhman menuliskan artikel dengan tajuk, "Warisan Leluhur Selamatkan Warga Adat di Lombok Ini dari Gempa".
Tulisan yang dirilisnya, Senin, 13 Agustus 2018 lalu itu mengabarkan bahwa saat gempa kekuatan 7 SR yang meluluhlantakkan Lombok. Sekitar 437 warga tewas, luka-luka 1.353 orang, dengan 783 luka berat dan 570 orang luka ringan.
Korban luka-luka paling banyak terdapat di Lombok Utara ada 640 orang. Kabupaten ini daerah paling parah karena berdekatan dengan pusat gempa. Sebagian besar bangunan hancur, rata dengan tanah.
Meskipun begitu, ada desa-desa adat yang kokoh mempertahankan kearifan adat, warisan leluhurnya, dari bangunan rumah sampai kedaulatan pangan, mereka selamat. Rumah utuh, bahan pangan pun masih tersedia.
Memasuki gerbang Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara, hanya tampak puing-puing reruntuhan. Pada akhir Januari 2018, saya masih menyaksikan rumah-rumah warga Hindu berbaris rapi. Di depan mereka, berdiri tempat peribadatan. Setelah melewati perkampungan warga beragama Hindu itu, mwsjid megah menyambut di tengah perkampungan umat Muslim. Kini, dua perkampungan itu hanya tumpukan reruntuhan.
Di sepanjang jalan, berderet tenda-tenda terpal. Wajah-wajah letih terlihat dari kantong mata mereka. Beberapa anak muda berujar pada kendaraan yang lewat untuk menurunkan air. Beberapa dermawan mengendarai pick-up menurunkan beberapa kardus mie instan dan air mineral. Kampung itu, Dusun Boyotan Asli dan Boyotan Proyek, cukup terkenal dengan warga yang bertani buah. Rumah-rumah megah di sepanjang jalan menjadi bukti di tanah kering itu, petani bisa sejahtera.
Tumpukan kayu plafon dari atap ambruk masih menggunung di halaman itu. Genteng berserakan, beberapa bagian tembok bangunan tampak berdiri. Bagian atas pagar besi yang runcing mencium tanah.
Tembok bergambar logo Lombok Utara, berkeping-keping. Tak ada tulisan utuh. Di depan bangunan ambruk itu, berdiri baliho berisi rincian Anggaran Pendapatan Belanja Desa Gumantar. Itulah satu-satunya penanda bahwa bangunan itu adalah Kantor Desa Gumantar. Ini salah satu desa di Kecamatan Kayangan, Lombok Utara.
Bersama desa tetangga, Desa Dangiang, dua desa ini tempat korban meninggal dunia terbanyak pada gempa 7SR pada Minggu, 5 Agustus lalu. Sepanjang jalan kurang lebih tujuh kilometer, rumah-rumah ambruk menjadi pemandangan.
Gempa Lombok, hingga Senin (13/8/18), menewaskan 437 orang. Di Kabupaten Lombok Utara 374 orang, Lombok Barat (38), Kota Mataram (9), Lombok Timur (12), Lombok Tengah (2) dan Kota Denpasar dua orang. Jumlah korban ini hasil pendataan dari kepala desa dan Babinsa. Rumah rusak sekitar 52.812 unit, sarana pendidikan 458 unit dan fasilitas umum maupun tempat ibadah 197 unit.
Presiden Joko Widodo pun kembali datang ke Lombok, mengunjungi para korban gempa, Senin ini. Siang hari ini dia ke korban gempa di Kecamatan Pemenang, lanjut peninjauan Pos Komando Operasi.
Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB mengatakan, korban terverifikasi dan ada surat kematian di Dinas Dukcapil ada 259 orang. Sisanya, dalam masih proses administrasi. “Sebagian besar korban meninggal karena tertimpa bangunan roboh saat gempa,” katanya dalam keterangan resmi.
Sedangkan, korban luka-luka tercatat 1.353 orang, 783 luka berat dan 570 luka ringan.
Berdasarkan data Posko Tanggap Gempa Lombok Senin ini tercatat ada 352.793 pengungsi, tersebar di Lombok Utara 137.182 orang, Lombok Barat 118.818, Lombok Timur 78.368, dan Kota Mataram 18.368 orang.
Evakuasi korban tertimbun bangunan runtuh dan longsor terus berjalan oleh tim SAR gabungan. Penyaluran bantuan logistik ke pengungsi juga jalan .
Sutopo bilang, kendala dihadapi dalam distribusi logistik karena banyak jalan rusak, minim transportasiuntuk salurkan ke pengungsi di perbukitan. Helikopter pun didatangkan, dari BNPB, TNI dan Basarnas.
Kerugian dampak gempa pun sangat besar. Kedeputian Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB menghitung kerusakan dan kerugian dari gempa 6,4 SR dan 7 SR dengan hasil sementara lebih Rp5,04 triliun. Angka ini dari pemukiman Rp3,82 triliun, infrastruktur Rp7,5 miliar, ekonomi produktif Rp432,7 miliar, sosial budaya Rp716,5 miliar, dan lintas sektor Rp61,9 miliar.
Secara wilayah, kerusakan dan kerugian gempa di NTB paling banyak di Lombok Utara Rp2,7 triliun, Lombok Barat lebih Rp1,5 triliun, Lombok Timur Rp417,3 miliar, Lombok Tengah Rp174,4 miliar dan Kota Mataram Rp242,1 miliar. “Kerusakan dan kerugianterbanyak di permukiman. Puluhan ribu rumah penduduk rusak berat, bahkan banyak rata dengan tanah,” katanya.
Warisan Leluhur Tetap Utuh
Pemandangan mulai berubah ketika memasuki Dusun Gumantar, tempat Masjid Kuno berdiri tegak. Di sekitar bekas perkampungan adat itu, beberapa rumah masih berdiri kokoh. Rumah-rumah berdinding bedek (anyaman bambu), berlantai tanah, dan beratap ilalang tampak perkasa di antara rumah-rumah bata dan batako yang tak lagi utuh.
Saya sampai di ujung kampung di Dusun Desa Beleq. Begitu turun dari kendaraan, seorang sahabat lama mendekat dan langsung memeluk saya. Dia tampak kelelahan. Tangan penuh luka. Kaki pincang.
“Alhamdulillah, kami sekeluarga selamat,’’ kata Jumayar, sahabat saya.
Dengan mata berkaca Jumayar, menunjuk ke rumah batanya yang rata dengan tanah. Bertahun-tahun dia mengumpulkan uang hasil berladang, dalam hitungan detik langsung ambruk.
Kami menuju perkampungan adat Desa Beleq. Pemandangan benar-benar berbeda. Rumah tradisional warga utuh mesti gempa berkali-kali menghantam.
Kampung adat ini merupakan permukiman awal warga Dusun Desa Beleq Gumantar. Sebelum ada rumah bata dan batako, warga tinggal di perkampungan itu. Aturan adat terjaga ketat, kompleks perkampungan tak boleh diubah.
Bangunan harus mempertahankan bentuk asli: berlantai tanah, dinding bedek, dan beratap ilalang. Setiap rumah dilengkapi berugak–semacam gazebo–di bagian depan. Kompleks itu juga harus mempertahankan bangunan sambik (lumbung padi).
Tiga kali gempa besar, 29 Juli kekuatan 6,5 SR, 5 Agustus (7 SR), dan 9 Agustus 6,2 SR, seluruh rumah, berugak, dan lumbung padi di perkampungan itu masih utuh. Hanya jalan setapak yang dipaving Dinas Pariwisata setahun lalu yang retak.
Hari itu, Jumat (10/8/18), ketika saya berkunjung ke kampung itu, para pria sedang gotong royong memperbaiki jalan setapak yang rusak.
Memasuki perkampungan, saya disambut suasana begawe (pesta). Saban tahun saya menghadiri pesta adat di kampung ini. Pemandangan sama ketika saya tiba Jumat itu. Para perempuan berkumpul mencuci beras, memasak nasi, membuat ragi, memotong pepaya muda.
Kelompok perempuan lansia asyik menguyah sirih. Beberapa anak muda bercerita seputar gempa, anak-anak gadis duduk di depan rumah membaca buku dan mencari kutu. Bocah-bocah bertelanjang, berlarian di tanah berdebu.
Di bagian lain, kelompok ibu-ibu yang memiliki bayi berkumpul menyusui bayi mereka. Di berugak tempat saya duduk dan disuguhkan kopi hitam pekat, dua perempuan baru saja selesai memeras madu.
Ketika gempa mengguncang Lombok 29 Juli, warga Desa Beleq merasakan getaran tetapi tak sampai merusak rumah mereka. Pada gempa kedua Minggu malam (5/8/18), warga sedang berkumpul di rumah beberapa warga yang memiliki TV. Guncangan kedua itu langsung merobohkan seluruh rumah berdinding bata dan batako di kampung yang berbatasan dengan hutan itu.
Listrik mati, warga berteriak histeris. Anak-anak menangis. Saat itu, para sesepuh kampung memerintahkan mereka masuk ke kompleks perkampungan adat.
Selama masa “pengungsian” ini, seluruh masyarakat Desa Beleq harus mengikuti titah para tetua adat yang terdiri dari mangku, kiyai, amaq lokak, termasuk kepala dusun. Mereka harus membuat dapur umum dan semua aktivitas harus gotong royong, sampai rumah baru mereka kembali dibangun.
“Jika ada bantuan perbaikan rumah dari pemerintah, kami tolak kalau rumah batu. Kami mau kembali ke rumah warisan leluhur kami, “ kata Sahirman, Kepala Dusun Desa Beleq ketika saya menanyakan tentang bantuan dana dari pemerintah pusat untuk korban gempa.
“Kami kembali ke leluhur saja,’’ kata Jumayar, menimpali.
Rumah-rumah peninggalan leluhur itu begitu sederhana. Tembok menggunakan belahan bambu anyaman. Pintu dari kayu hutan sekitar. Ketinggian pintu tak lebih 1,5 meter. Harus menunduk ketika masuk. Atap cukup tinggi, ketika masuk ke dalam rumah terasa tinggi dan luas. Seluruh lantai rumah masih berupa tanah. Tak ada semen.
Kompleks yang di kelilingi pagar tanaman hidup itulah satu-satunya kampung tradisonal yang tersisa di Desa Gumantar. Di kampung tradisional lain, masih satu Desa Gumantar, Tenggorong, misal, sudah banyak berdiri rumah permanen. Rumah permanen itu dimulai oleh keluarga buruh migran. Bahkan kampung tempat masjid kuno berdiri, Dusun Gumantar, banyak bangunan bata. Tiga kali gempa, tak ada satu pun bangunan “modern” utuh.
Ketika gempa terjadi, warga yang tinggal di rumah-rumah tradisional itu merasakan rumah mereka mau runtuh. Begitu keluar rumah, mereka masih melihat rumah tegak berdiri. Begitu juga berugak di depan rumah, goyangan sangat keras, seperti terpelanting, tetapi bangunan berkaki enam itu, hanya sedikit bergeser. Keesokan pagi, warga sadar, rumah warisan leluhur mereka itu jadi penyelamat.
Warga yang tinggal di dalam kompleks itu selamat, tak ada yang terluka. Warga yang tinggal di luar kompleks kini kembali ke dalam kampung. Mereka tak perlu mendirikan tenda terpal. Mereka bisa tidur nyenyak di atas berugak, bahkan tidur dengan tenang di dalam rumah.
“Kalau bisa bantuan rumah pemerintah nanti diberikan dalam bentuk uang. Kami bangun seperti rumah tradisional. Saya tidak berani lagi tidur di rumah batu,’’ kata Sahir.
Ketika gempa awal 29 Juli, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) NTB langsung turun mendata komunitas yang jadi korban. Pada gempa pertama itu, terdampak parah adalah Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Kecamatan Sambalia Kabupaten Lombok Timur, dan Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara.
Sembalun dan Bayan, dua kecamatan tempat tinggal komunitas anggota AMAN. Selain laporan korban, AMAN juga menerima laporan seluruh bangunan rumah di kompleks-kompleks perkampungan adat masih utuh.
Pada gempa kedua 7 SR yang meluluhlantakkan bangunan se-Kabupaten Lombok Utara, rumah-rumah di perkampungan adat, yang sering disebut “kampung tradisional” kokoh berdiri. Kampung-kampung itu tersebar di Sembagek, Desa Sukadana, Kampung adat Senaru, Bayan Beleq, Kecamatan Bayan. Batu Gembung, Desa Akar-Akar, dan perkampungan adat Desa Beleq, Desa Gumantar di Kecamatan Kayangan.
“Leluhur mewariskan kita bangunan yang selaras dengan alam,’’ kata Lalu Satriawangsa, Ketua Dewan AMAN Wilayah NTB.
“Ini terbukti ketika gempa besar tiga kali selama sebulan ini, seluruh kampung adat itu selamat. Rumah modern yang dibangun di sekitar kampung adat runtuh semua,’’ katanya.
Bangunan rumah warisan leluhur masyarakat Sasak, suku asli Lombok, dibangun dari bahan alam dan dengan perencanaan matang. Seluruh bangunan dari material alam seperti kayu, bambu, dan ilalang. Ada berupa rumah panggung, ada rumah lantai tanah. Rumah panggung di Sembagek, Desa Sukadana, misal, dibangun untuk mengindari binatang buas.
Sementara rumah di daerah pesisir, rumah panggung terbukti menyelamatkan warga pesisir dari bencana rob. Dalam sejarah kebencanaan di Lombok, rumah-rumah warisan itu selalu utuh. Berdiri kokoh. Hanya rusak dimakan waktu.
“Kompleks perkampungan adat itu sudah teruji oleh waktu,’’ katanya.
Menurut dia, pemerintah harus mendengar aspirasi masyarakat adat yang menghendaki perbaikan rumah mereka berbentuk rumah tradisional. Dari sisi harga, katanya, rumah itu jauh lebih murah.
Pembangunan juga lebih cepat. Jika bahan kayu, bambu, dan ilalang kurang di Lombok, bisa didatangkan dari daerah lain.
“Sekarang saatnya kita kampanyekan rumah kembali ke alam. Kalau pun ada modifikasi, harus disesuaikan dengan kearifan lokal.”
Bangunan-bangunan tradisional komunitas adat selama ini kerap menjadi “raport merah” pemerintah daerah. Rumah-rumah itu dianggap sebagai “rumah kumuh. Keberadaan rumah kumuh menjadi salah satu indikator tingkat kemiskinan suatu daerah.
Tak heran, pemilik rumah tradisional itu mendapat bantuan pembangunan rumah melalui program rumah tidak layak huni. Bagi kampung yang masih menjaga kuat tradisi tak boleh ada rumah modern, rumah baru dibangun di luar kompleks. Sementara bagi kampung yang menolerir pembangunan rumah modern dalam satu kompleks seperti di Segenter, Desa Sukadana, kini rata dengan tanah. Tak sedikit nyawa terenggut.
Ketahanan Pangan ala Desa Beleq Gumantar
Memasuki hari kedua setelah gempa, ratusan posko pengungsian berdiri di sepanjang jalan di Lombok Utara. Memasuki desa-desa di bagian dalam, pemandangan serupa bisa dilihat. Anak-anak, orang dewasa, orang tua, berdiri di pinggir jalan berteriak meminta agar posko mereka dikunjungi.
Mereka mengaku kekurangan pangan, kekurangan air bersih. Tak sedikit posko pengungsi yang meminta sumbangan uang. Berdiri di pinggir jalan, menyodorkan kardus air mineral atau mie instan tempat menyimpan uang yang diberikan pengendara.
Di Desa Beleq Gumantar, tak ada pemandangan seperti itu. Anak-anak berlarian, di sawah perempuan dan laki-laki sedang memanen kacang. Tak ada aktivitas yang berubah. Mereka pergi ke sawah, ladang, mengembalakan ternak. Di dalam kampung mereka membuat dapur umum. Lebih canggih dibandingkan dapur umum yang didirikan pemerintah, yang setiap saat harus menerima stok bantuan.
“Hanya itu bantuan yang pernah tiba. Karena kampung kami paling atas, mungkin bantuan tiba sudah habis di jalan diminta,’’ kata Jumayar, menunjuk satu kardus air mineral.
“Beras itu setok kami,’’ katanya menambahkan ketika melihat mata saya ke arah karung beras.
Hampir setiap rumah di Desa Beleq Gumantar, memiliki cadangan pangan. Mereka menyimpan beras, gabah, dan lauk-pauk secukupnya. Karena lokasi kampung mereka jauh dari pasar, sekali belanja untuk setok beberapa hari. Ketika gempa terjadi Minggu malam, keesokan hari aktivitas ekonomi lumpuh. Tak ada pasar dan toko buka.
Masyarakat Desa Beleq Gumantar, mengumpulkan semua cadangan pangan mereka dari sisa reruntuhan. Semua dikumpulkan jadi satu untuk dimasak di dapur umum.
“Tak ada yang boleh masak sendiri. Kalau ada yang masak sendiri-sendiri di rumah, tidak kami urus,’’ kata Sahir.
Selain cadangan dari rumah, cadangan terbesar bahan pangan ada di dalam kompleks permukiman adat. Sambik (lumbung padi) masih berisi padi. Padi yang dipanen dari ladang dan sawah mereka sebagian padi bulu, varietas padi lokal yang biasa dikeluarkan saat pesta adat.
Lumbung-lumbung padi masih bisa mencukupi logistik warga. Mereka juga masih memiliki kebun yang ditanami aneka buah. Ada pisang, pepaya, dan nangka bisa dibuat jadi lauk. Selain itu, batang pisang muda bisa dimasak jadi sayur ares. Kelapa tak pernah kekurangan.
“Kalau ada bantuan ke sini, itu kami makan bersama,’’ kata Sahir.
Lumbung padi itu selalu berisi ketika panen. Tak boleh kosong. Jika sepanjang tahun panen berlimpah, para pemilik lumbung kadang membiarkan padi pada bagian bawah rusak dimakan waktu. Bagian rusak dibuang, kemudian lumbung kembali diisi penuh. Lumbung yang berisi penuh, bisa mencukupi makan satu keluarga untuk beberapa bulan.
Pernah suatu masa, ketika gagal panen, ketika seluruh cadangan makanan di rumah habis, hasil kebun sudah habis dipetik, barulah mereka mengeluarkan padi dari dalam lumbung. Lumbung-lumbung yang tersisa itu kembali menyelamatkan masyarakat Desa Beleq Gumantar dari ancaman kelaparan ketika bencana. (RED | WWW.MONGABAY.CO.ID)
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.