Menjaga Dusta Politik Pasca Pilkada
https://www.metromini.info/2018/07/menjaga-dusta-politik-pasca-pilkada.html
Pemerhati daerah, kelahiran Kota Bima, Mujamin Jassin. METROMINI/Dok |
OPINI - Bahwa begitu banyak cacatan program pembangunan yang terangkum normatif dalam visi dan misi kepala daerah terpilih, ini artinya ada pekerjaan rumah yang tengah menanti. Namun pertanyaannya, setelah terpilih mampukah kepala daerah membawa daerah menjadi lebih baik? Menjaga kontrak politik di saat Pilkada agar terlaksana? Menyatukan kekuatan yang berbeda-beda demi kepentingan daerah?
Sebab kenyataan selama ini dalam proses perjalannya, implementasi dari sejumlah janji politik tersebut malah mengalami kelumpuhan sistemik, menghadapi persoalan-persoalan yang sedemikian kompleks, sulit di realisasikan akibat programnya sangat sulit diukur. Absurd karena janji di buat tanpa lebih dahulu mengukur rasionalitasnya.
Kondisi ini sekaligus terkadang tak jarang membuat pemimpin baru daerah memiliki pola pikir yang instan, pragmatis dan berpikir jangka pendek dalam merumuskan kebijakan-kebijakannya. Sehingga membuat orientasi pembangunan daerah menjadi semakin asal-asalan. Terminalogi bahwa setiap aktivitas kepala pemerintahan secara objektiv harus selalu bergerak di atas asas profesionalitas, dan dalam kerangka akuntabilitas publik. Hal itu omongkosong belaka, justru yang terjadi kekuasaan demi kekusaan silih berganti lebih suka berjalan semau seleranya, mengeruk keuntungan pribadi bersama kroni-kroninya.
Visi-misi yang gencar dikampanyekan saat Pilkada itu ilutif, naif karena menggambarkan hal-hal yang sangat sumir, bobotnya tidak berwarna solutif bagi sederetan persoalan daerah karena disusun bukan sebagai satu kesatuan niat membangun system, tetapi di buat hanya sekedar polesan kampanye Pilkada semata. Di sinilah cikal-bakal dusta biasanya diobral. Ada ungkapan: semakin banyak politisi membuat janji, maka semakin besar kemungkinannya untuk menghianati. Bahkan ada yang lebih apatis lagi berkata: tiada pilkada tanpa dusta. (J. Kristiadi (Kompas 4 Oktober 2016).
Selain itu ada yang lebih melegenda ironinya, mengapa? Mogoknya agenda pembangunan dan agenda kesejahteraan dalam visi dan misi selama ini persoalan yang paling utama akibat watak buruk kepala-kepala daerah. Watak buruk yakni dusta politik setelah pergelaran Pilkada usai. Setalah mereka mencapai kemenangan, maka usailah sudah semuanya. Lupakan janji politik, lupakan semua kebaikan masyarakat yang memilih dan memberikan kepercayaan padanya. PHP (pemimpin harapan palsu) semacam itu di Bima, telah menjadi tradisi yang menahun. Pilkada yang semestinya menghadirkan para mengabdi, justru lahir kepala daerah yang tega mendustai janjinya.
Pilkada usai yang tersisa hanya mempertontonkan ribut sana-sini mereka yang sakit hati dan putus asa tidak bisa terima kenyataan kalah. Pilkada usai lantas menyisakan kisah miris elite politik yang hanya piawai memberikan himbauan-himbauan “mari kembali bersatu” kepada masyarakat, argumentasi sekaligus menghina masyarakat.
Lupakan peran idealnya ‘kekuasaan’ yang konsisten memikirkan bagaimana mengerjakan janji-janji kampanye. Jangan berharap ada kepala daerah yang selalu berkehendak alamiah bagi dirinya untuk mendambakan terciptanya sebuah tatanan kehidupan dearah yang lebih baik. Lupakan prinsip kekuasaan yang semestinya di tuntut bergerak atas nama kepekaan, tidak apatis, melakukan pembiaran terhadap kenyataan problem sosial masyarakat.
Pilkada di selenggarakan dengan proses yang mahal, tak ada faedahnya kecuali hanya sekedar pergantian elite saja. Pilkada yang sekonyong-konyong terkadang mengoyak-ngoyak dan merenggangkan rasa persuadaraan antar tetangga, keberpihakan politiknya semu, berhenti pada euphoria kepala daerah yang menangkan pertandingan saja.
Dengan begitu, masyarakat harus menjaga agar politik dusta pasca pilkada. Masyarakat tak boleh lagi sekedar menunggu bukti keberpihakan, atau musti bersabar mencicipi kebijakan seala kadar kepala daerah. Sebagai sebuah resiko atau kensekuensi politik, masyarakat harus memecahkan kebuntuan episteme ini.
Watak Buruk Kekuasaan Daerah
Metafora politik ingkar janji kepala daerah di tanah lahirku Bima, sontak kembali heboh baru-baru ini. Aku begitu yakin, bahwa mendadak ramainya bukan karena ini infotaimen murahan yang lazimnya bersumber dari para oposan yang hanya ingin asal tampil beda. Sebab selama ini nada-nada protes semacam itu memang benar-benar datang dari aspirasi masyarakat yang menggambarkan keadaan miris karena selama ini selalu dibohongi janji yang tidak ditepati.
Bahwa di Bima kenyataan ada jembatan putus dibiarkan terbengkalai, ada jalan raya yang telah rusak parah tak pernah kunjung diperbaiki, ada juga harga panen hasil pertanian para petani turjun bebas sementara harga pupuk dan obat-obatan hama melambung tinggi. Ada tragedi kemanusiaan balita gizi buruk, padahal di tanah lumbung padi. Ada budaya yang semakin tergerus nilainya, ada musiman perang antar Desa, seperti main dadu sewaktu-waktu meledak tak pernah di tangini secara serius oleh pemerintah. Image buruk IPOLESOSBUDHANKAM ini akan terus menempel. Dan ibarat penyakit yang sudah akut, pada akhirnya diperlukan waktu yang panjang, dan diperlukan cara-cara yang luar biasa untuk menyembuhkannya.
Segela keruwetan lain yang sama seakan telah menjadi tradisi seperti, kemiskinan pengangguran, kesehatan, dan pendidikan di anggap gejala umum yang terjadi. Padahal dalam konteks lokalitas sebetulnya mampu di atasi, jika saja kepala daerah memiliki kemauan atau niat baik (good will) untuk maju. Lagipula kepala daerah niscaya memiliki jejaring kekuatan di berbagai lini, punya koneksi kekuasaan dan kekuatan backing, mulai dari para penceramah hingga pengusaha hitam. Dan tentu saja memiliki kekuatan besar mengingat mereka didukung oleh masyarakat yang memilihnya.
Watak buruk penguasa daerah yang suka mempolitisasi kemiskinan kapan saja waktunya, kemiskinan menjadi obyek yang memiliki kenguntungan angka komodoti politik. Pada saat Pilkada ramai-ramai melakukan peneterasi politik dengan mengusung sloganisme kesejahteraan. Padahal realitas di lapangan program pemberantasan kemiskinan justru berujung pada manipulasi dan penyimpangan dana-dana untuk warga miskin. Status rumah tangga miskin di eksploitasi jadi alat menyelewengkan anggaran Negara. Sejumlah praktik penyimpangan, utamanya pada pelaksanaan program yang bersifat pembangunan fisik sarana prasarana (sarpras) umum. Dana pembiayaan pembangunan gedung sekolah, pembangungan jembatan, perbaikan drainase dan lainnya yang selalu di cekokin.
Bukan kali ini saja kekuasaan di Bima panen kritik, bukan hanya aksi demonstrasi bahkan sering terjadi, bahkan hampir tak ada alpa setiap hari ada kabar warga memboikot jalan antra Desa. Semua ini akibat logika kekuasaan di Bima selama ini, sepelik apapun persoalan seolah-olah tidak menjadi masalah selama tidak mengganggu stabilitas politik (pelanggengan kekuasaannya). Kendati padahal dia tahu resiko gaya serta pola kekuasaan semacam ini sewaktu-waktu dapat mengarah kepada yang namanya pembangkangan sipil (civil disobediance) masyarakat.
*Penulis adalah pemerhati Dearah
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.