Tanpa Tuan, Bima Ramah di Persimpangan Jalan
https://www.metromini.info/2017/03/tanpa-tuan-bima-ramah-di-persimpangan.html
Oleh: Muslihun Yakub
OPINI - Bima Ramah merupakan sebuah dasar pembaharuan untuk mengembalikan tatanan sosial pada hittahnya, yakni menemukan kehidupan yang luhur pada dua sendi kehidupan dengan terciptanya perilaku sosial yang sanggup menegakkan kearifan lokal dan tata-kelola birokrasi yang selaras dengan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Dua hal ini merupakan poin penting yang menentukan baik buruknya sebuah masyarakat.
Fakta yang terjadi sepanjang tahun 2016, terang dicerna dan mungkin juga rumit diurai bagi sebagian yang lain. Fenomena birokrasi yang berjalan di tempat membenarkan anggapan bahwa masyarakat kita mengalami krisis kebudayaan dan birokrasi kita mengalami kevakuman etik di titik terendah, (baca: kasus penyegelan sejumlah kantor KUPT, penyegelan kantor Desa, kisruh dana Desa, Kadis dibacok, Bupati disebut penipu, konflik antar kampung, pemblokiran jalan, dan yang terbaru adalah Putusan PTUN yang mengabulkan gugatan pemohon soal mutasi).
Aspek penegakan hukum dengan menggunakan otoritas secara imparsial bisa menjadi salah satu pintu pembuka mengembalikan identitas ke-Bima-an pada keluhuran kesejarahannya.
Tugas pemimpin tidak lain menggerakkan seluruh stakeholder, dan birokrasi tidak bisa menghindar sebagai tulang punggung pembangunan. Pembangunan yang berwawasan pembaharuan di atas keluhuran hukum dan keluhuran moralitas bersama. Membangun Bima yang kaya akan pembaharuan bukan soal mampu atau tidak, tapi soal political will dan kesiapan jiwa raga seorang pemimpin beradaptasi dengan poros gerbong pembaharuan, khususnya dengan pemimpin informal. Tanpa itu, kelak pemimpin yang menggaungkan "Bima Ramah" bakal dicap miskin dan pucat dalam sejarah, hari ini memang belum terlihat sempurna.
Kegagalan mengembalikan masyarakat pada nilai aslinya bukan tidak mungkin satu sama lain akan saling memangsa, puncaknya, endapan emosi kelak menjadi luapan yang berujung pada frustasi. Jika frustasi massa digalang bukan mustahil kepala daerah dihakimi seperti hukum rimba. Ini bukan ungkapan yang berlebihan, tapi respon penafsiran atas cara publik melampiaskan perasaan kecewa akibat janji kepala daerah yang tak kunjung dilunasi.
Sebenarnya kepala daerah berutang pada dirinya, sementara rakyat telah menyerahkan haknya atas dasar kepercayaan, maka kata TUHAN yang terucap dari mulut kepala daerah bisa berubah menjadi HANTU yang menakutkan baginya. Suka atau tidak, itulah gambaran suasana bathin kepala kaerah TK 2 Bima saat ini. Karena itu saya menyebut [Dia] "di persimpangan jalan."
Lantas apa solusinya supaya menjadi obat penyembuh luka publik pemilik hak?
Kepala daerah harus punya pilihan prioritas alias tidak gagal fokus, bahwa membangun di atas mimpi ratusan ribu manusia harus ada yang kelihatan, dirasakan, dan sekaligus bisa dibanggakan. Pilihan mana yang menjadi prioritas tentu didasarkan pada renstra daerah yang menjabarkan visi dan misi Bima Ramah yang mereka usung. Untuk Tahun 2016, saya percaya sekali bahwa rencana strategi Pemkab Bima tidak visibel, kita bisa uji dan eksaminasi di ruang akademik untuk membuktikan kebenaran materil tesis di atas.
Membangun daerah pada level birokrasi adalah soal konsep, di level publik memang wacana, jika pemimpin dan birokrasi berfikir positif, maka wacana publik bisa menjadi daya dorong animo birokrasi. Bagaimana dahsyatnya ketika BIMA dijadikan sentral pertemuan Bupati seluruh Indonesia sehingga Bima punya nilai jual yang tinggi dengan kekayaan sumber daya lokal, betapa pun kita sadari ada hambatan dari sisi ketersediaan infrastruktur pendukung. Pemerintah jangan malas berpikir..!!
Atau, bisa juga menempuh pilihan kedua, yakni membiarkan pemerintah dan pemimpin bergerak sendiri tanpa kontrol? Boleh..!! Hanya saja risiko yang harus ditanggung, HAK publik akan dibajak untuk kepentingan segelintir manusia yang sudah putus urat malunya dan mereka terbiasa hidup di atas ratapan duka lara publik. Ini sebagian fakta yang telah terjadi pada birokrasi di Dana Mbojo (Daerah Bima).
Saya sadar betul bahwa mengurai nasib dan masa depan daerah yang terlanjur mengindap "kanker" salah urus memerlukan diagnosa yang serius. Langkah permulaan yang tepat dan jernih yakni kesiapan pemimpin dan seluruh jajaran di level eselon untuk rela dan rendah hati hidup sederhana, sebagaimana sederhananya kehidupan mereka sebelum menjadi apa-apa.
Kalibata, 6 Maret 2017
Penulis adalah Koordinator Presidium Satgas Bima-Jakarta
Sumber Artikel:
https://www.facebook.com/muslihun.yakub/posts/1361411023881725?comment_id=1361844277171733&ref=notif¬if_t=mentions_comment¬if_id=1488764958982169
Caranya, harus berani ungkap harta kekayaan sebagai bukti pertanggungjawaban terhadap sejarah.
Muslihun Yakub |
Fakta yang terjadi sepanjang tahun 2016, terang dicerna dan mungkin juga rumit diurai bagi sebagian yang lain. Fenomena birokrasi yang berjalan di tempat membenarkan anggapan bahwa masyarakat kita mengalami krisis kebudayaan dan birokrasi kita mengalami kevakuman etik di titik terendah, (baca: kasus penyegelan sejumlah kantor KUPT, penyegelan kantor Desa, kisruh dana Desa, Kadis dibacok, Bupati disebut penipu, konflik antar kampung, pemblokiran jalan, dan yang terbaru adalah Putusan PTUN yang mengabulkan gugatan pemohon soal mutasi).
Aspek penegakan hukum dengan menggunakan otoritas secara imparsial bisa menjadi salah satu pintu pembuka mengembalikan identitas ke-Bima-an pada keluhuran kesejarahannya.
Tugas pemimpin tidak lain menggerakkan seluruh stakeholder, dan birokrasi tidak bisa menghindar sebagai tulang punggung pembangunan. Pembangunan yang berwawasan pembaharuan di atas keluhuran hukum dan keluhuran moralitas bersama. Membangun Bima yang kaya akan pembaharuan bukan soal mampu atau tidak, tapi soal political will dan kesiapan jiwa raga seorang pemimpin beradaptasi dengan poros gerbong pembaharuan, khususnya dengan pemimpin informal. Tanpa itu, kelak pemimpin yang menggaungkan "Bima Ramah" bakal dicap miskin dan pucat dalam sejarah, hari ini memang belum terlihat sempurna.
Kegagalan mengembalikan masyarakat pada nilai aslinya bukan tidak mungkin satu sama lain akan saling memangsa, puncaknya, endapan emosi kelak menjadi luapan yang berujung pada frustasi. Jika frustasi massa digalang bukan mustahil kepala daerah dihakimi seperti hukum rimba. Ini bukan ungkapan yang berlebihan, tapi respon penafsiran atas cara publik melampiaskan perasaan kecewa akibat janji kepala daerah yang tak kunjung dilunasi.
Sebenarnya kepala daerah berutang pada dirinya, sementara rakyat telah menyerahkan haknya atas dasar kepercayaan, maka kata TUHAN yang terucap dari mulut kepala daerah bisa berubah menjadi HANTU yang menakutkan baginya. Suka atau tidak, itulah gambaran suasana bathin kepala kaerah TK 2 Bima saat ini. Karena itu saya menyebut [Dia] "di persimpangan jalan."
Lantas apa solusinya supaya menjadi obat penyembuh luka publik pemilik hak?
Kepala daerah harus punya pilihan prioritas alias tidak gagal fokus, bahwa membangun di atas mimpi ratusan ribu manusia harus ada yang kelihatan, dirasakan, dan sekaligus bisa dibanggakan. Pilihan mana yang menjadi prioritas tentu didasarkan pada renstra daerah yang menjabarkan visi dan misi Bima Ramah yang mereka usung. Untuk Tahun 2016, saya percaya sekali bahwa rencana strategi Pemkab Bima tidak visibel, kita bisa uji dan eksaminasi di ruang akademik untuk membuktikan kebenaran materil tesis di atas.
Membangun daerah pada level birokrasi adalah soal konsep, di level publik memang wacana, jika pemimpin dan birokrasi berfikir positif, maka wacana publik bisa menjadi daya dorong animo birokrasi. Bagaimana dahsyatnya ketika BIMA dijadikan sentral pertemuan Bupati seluruh Indonesia sehingga Bima punya nilai jual yang tinggi dengan kekayaan sumber daya lokal, betapa pun kita sadari ada hambatan dari sisi ketersediaan infrastruktur pendukung. Pemerintah jangan malas berpikir..!!
Atau, bisa juga menempuh pilihan kedua, yakni membiarkan pemerintah dan pemimpin bergerak sendiri tanpa kontrol? Boleh..!! Hanya saja risiko yang harus ditanggung, HAK publik akan dibajak untuk kepentingan segelintir manusia yang sudah putus urat malunya dan mereka terbiasa hidup di atas ratapan duka lara publik. Ini sebagian fakta yang telah terjadi pada birokrasi di Dana Mbojo (Daerah Bima).
Saya sadar betul bahwa mengurai nasib dan masa depan daerah yang terlanjur mengindap "kanker" salah urus memerlukan diagnosa yang serius. Langkah permulaan yang tepat dan jernih yakni kesiapan pemimpin dan seluruh jajaran di level eselon untuk rela dan rendah hati hidup sederhana, sebagaimana sederhananya kehidupan mereka sebelum menjadi apa-apa.
Caranya, harus berani ungkap harta kekayaan sebagai bukti pertanggungjawaban terhadap sejarah.
Kalibata, 6 Maret 2017
Penulis adalah Koordinator Presidium Satgas Bima-Jakarta
Alumni UIN Syarif Hidayatullah Bekerja di Staf Ahli di DPD RI.
Sumber Artikel:
https://www.facebook.com/muslihun.yakub/posts/1361411023881725?comment_id=1361844277171733&ref=notif¬if_t=mentions_comment¬if_id=1488764958982169
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.