Orang-orang yang Tercerahkan (Rausanfikr)
https://www.metromini.info/2017/03/orang-orang-yang-tercerahkan-rausanfikr.html
Orang yang tercerahkan harus mendidik masyarakatnya yang bodoh dan masih tertidur, mengenai alasan-alasan dasar bagi nasib sosio-historis mereka yang tragis dengan berpijak pada sumber-sumber tanggungjawab, kebutuhan-kebutuhan dan penderitaan masyarakatnya, orang yang tercerahkan harus menentukan pemecahan-pemecahan rasional yang akan memungkinkan rakyatnya membebaskan diri mereka dari status quo. Demikian ungkapan Ali Syari'ati.
Pemikiran Ali Syari'ati tentang perubahan masyarakat bertemu dengan apa yang pernah dibayangkan oleh Antonio Gramsci tentang intelektual organik. Gramsci memetakan potensi intelektual menjadi dua kategori, yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional berkutat pada persoalan yang bersifat otonom dan digerakkan oleh proses produksi, sebaliknya intelektual organik adalah mereka yang memiliki kemampuan sebagai organisator politik yang menyadari identitas dari yang diwakili dan mewakili.
Intelektual organik itu, menurut Gramsci, tidak harus mereka yang fasih berbicara dan berpenampilan seorang intelektual, tetapi lebih dari itu, yaitu mereka yang aktif berpartisipasi dalam kehidupan praktis, sebagai pembangun, organisator, penasehat tetap, namun juga unggul dalam semangat matematis yang abstrak.
Bagi Syari’ati, perubahan lahir dr gerakan mereka yang tercerahkan. Mereka adalah agen perubahan sosial yang nyata, karena pilihan jalan mereka adalah meninggalkan menara gading intelektualisme dan turun untuk terlibat dalam problem-problem real masyarakat. Mereka adalah katalis yang meradikalisasi massa yang sedang tidur panjang menuju revolusi melawan penindas. Masyarakat dapat mencapai lompatan kreatifitas yang tinggi menuju perubahan fundamental struktur sosial-politik akibat peran katalis Rausanfikr/Sang Pencerah.
Sumbangan terbesar Syari’ati tentang Islam & Revolusi sebenarnya bukan dalam kekuatannya sebagai seorang teoritikus Islam di bidang ilmu-ilmu sosial, seperti Ibnu Khaldun dengan Muqaddimahnya. Atau barangkali, seperti Erward Said yang dengan Orientalism-nya telah membongkar dan meruntuhkan bangunan ilmu-ilmu sosial “Barat” yang selama ini dibangun dgn power. “kesadaran kolektif” yang menjadi basis kekuatan revolusioner tidak selalu berangkat dari kesadaran kelas, tetapi juga bisa dari kesadaran agama.
Agama dalam konteks ini tentu saja bukan agama dalam pemahaman umum, tetapi agama yang telah mengalami “ideologisasi” sehingga mampu memberi kekuatan revolusioner, Inilah tesis Ali Syari'ati yang paling monumental.
Saya tidak heran jika setelah Revolusi Iran terjadi, maka kerangka teoritik yang biasanya dijadikan konseptualisasi “social movement” menjadi berantakan, karena sering meremehkan faktor budaya sebagai kekuatan “symbolic resistance”.
Penulis adalah Alumini Universitas Indonesia (UI)
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.