Menggugat Nalar Bahwa Teroris Pasti Muslim

Islam bukan teroris. GOOGLE/voa-islam.com

OPINI - Rabu (22/3/2017), Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (Himapol) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ), menggelar Diskusi Publik tentang Deradikalisasi Paham Keagamaan di Indonesia.

Dalam acara tersebut, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila UMJ, Dr. Ma'mun Murod Al-Barbasy, menjelaskan bahwa sebelumnya publik selalu mengamini setiap nalar yang dibangun negara terkait dengan terorisme.

Namun, dalam perkembangannya, akhir-akhir ini mulai muncul perspektif yang berubah dan mencoba menggugat nalar tersebut.

"Gugatan publik sangat rasional," kata Dr. Ma'mun, seperti dikutip dari laman Republika.co.id.

Dalam penjelasannya, setidaknya ada tiga alasan yang menjadi dasarnya. Pertama, anggaran pemberantasan teroris termasuk cukup besar. Tahun 2014 anggarannya sebesar 44 triliun. Pada APBN-P 2016, Densus 88 mendapat tambahan dana 1,9 triliun.

Kedua, pihak kepolisian terlalu sering melanggar hak asasi manusia (HAM) mereka yang diduga teroris. Polisi sering menzalimi dalam penanganan kasus atas terduga teroris, dengan cara main tembak dan bunuh tanpa melalui proses pengadilan.

"Dari data yang sempat beredar di media, sedikitnya ada 121 terduga teroris tewas tanpa lewat proses hukum," ujar Dr. Ma'mun.

Ketiga, ada banyak kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan dalam setiap kasus bom teroris yang sebenarnya berulang. Sehingga, publik mulai mempertanyakan dan mengundang kritik atas kejanggalan-kejanggalan tersebut.

Ia mencontohkan, pada orang yang diduga teroris terlalu sering ditemukan kartu identitas (KTP atau paspor).

"Anehnya, selalu saja pada KTP atau paspor tersebut tertulis beragama Islam. Seolah ingin membangun nalar bahwa teroris pasti Muslim," jelasnya.

Modus semacam ini, menurutnya, juga terjadi dalam pemberantasan terorisme global, bukan hanya di Indonesia.

Masih teringat dalam benak publik, bagaimana paspor yang masih dalam kondisi utuh, tanpa rusak sedikit pun saat bom Paris terjadi.

Nalar publik tentu akan menolak, bila ada teroris jihadis yang mau identitasnya diketahui. Misalnya, kejanggalan pada KTP kasus bom ricecooker.

"Janggalnya, dalam KTP tersebut terlihat foto pelaku perempuan tidak mengenakan jilbab. Kalau pelakunya teroris jihadis, rasanya tak mungkin mau membiarkan auratnya terbuka meski hanya di KTP," jelasnya. (RED | REPUBLIKA.CO.ID)

Baca juga;

Related

Politik dan Hukum 8703957179813994967

Posting Komentar

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.

emo-but-icon

FANSPAGE METROMINI

METROMINI VIDEO

Arsip Blog

Ikuti Tweet Metromini

item