Lutfi Jelaskan Soal Dana di BNPB dan Menilai Walikota Baik Tangani Bencana Lalu
https://www.metromini.info/2017/03/lutfi-jelaskan-soal-dana-di-bnpb-dan.html
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI asal Fraksi Golkar, H. Muhammad Lutfi, SE. WHATSAPP/M. Lutfi, SE |
KOTA BIMA - Dalam rangka memperjelas soal penerimaan anggaran dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Republik Indoneisia yang diterima Pemerintah Kota (Pemkot) Bima. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI asal Fraksi Golkar, H. Muhammad Lutfi, SE secara exklusif memberikan penjelasannya kepada Metromini, Selasa, 21 Maret 2017.
Menurut anggota DPR RI asal Daerah Pemilihan (Dapil) Nusa Tenggara Barat itu, dirinya sudah tujuh tahun menjadi anggota Komisi VIII. Dijelaskannya, di Komisi VIII cakupan bidang kerjanya berkoordinasi langsung dengan Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Lutfi mengatakan, khusus soal bencana dan bantuan dari BNPB ke Pemerintah Kota Bima, ada dua bentuk anggaran yang sudah diberikan. Pertama anggaran rehabilitasi dan kontruksi (rehab rekon) dan anggaran Dana Siap Pakai (DSP) atau yang dikenal dengan sebutan dana On Call.
Pemerintah Kota Bima, sambung Lutfi, di tahun 2015 lalu mengajukan proposal dana rehab rekon ke BNPB. Pengajuan mereka saat itu nilainya puluhan miliar. Setelah Walikota Bima (H. M. Qurais H. Abidin) dan Ketua DPRD Kota Bima bertemu dengan dirinya. Atas kordinasi dia di Komisi VIII dan BNPB, proposal pengajuan Pemerintah Kota Bima dicairkanlah dana hibah senilai Rp12 miliar.
"Pencairan dana ini murni atas dorongan kami di Komisi VIII. Dan sebelumnya memang dirinya didatangi oleh Walikota dan Ketua DPRD Kota Bima untuk membantu mengkoordinasikan dana rehab rekon itu di BNPB. Tepat di tanggal 24 November 2016 (sebelum banjir bandang). Dana tersebut ditransfer oleh BNPB ke rekening BPBD Kota Bima. Dan pihak BNPB jelas memberikan laporannya kepada kami di Komisi VIII," urai dia, Selasa, 21 Maret 2017.
Ditambahkannya, dalam pemberian dana hibah yang sifatnya rehab rekon. Mekanisme penggunaannya harus teruang dalam APBD. Dan karena pencairannya setelah APBD II Kota Bima ditetapkan tentu dana hibah tersebut akan dituangkan dalam APBD-Perubahan tahun 2017 ini.
"Nah, clear itu dana yang Rp12 miliar dalam bentuk dana hibah. Jelas itu hasil koordinasi kami dengan BNPB setelah pertemuan dengan Walikota dan Pak Feri Sofyan," ujar dia.
Anggota DPR RI dua periode itu kembali menjelaskan tentang Dana Siap Pakai (DSP) yang dikucurkan BNPB pasca terjadinya banjir bandang di Kota Bima tanggal 21 dan 23 Desember 2016 lalu.
Kata Lutfi, tepat di hari Rabu, 21 Desember 2016, saat banjir bandang melanda Kota Bima sekitar pukul 15.00 WITA. Diakuinya, dirinya langsung menelepon Deputi Tanggap Darurat BNPB RI untuk menyiapkan dana On Call atau Dana Siap Pakai untuk menanggulangi keadaan darurat bencana di Kota Bima.
Kata dia, jawaban dari Deputi Tanggap Darurat baru diterima tanggal 24 Desember 2016. Menurut Lutfi, pihak Deputi Tanggap Darurat telah menyiapkan DSP. Selain itu, BNPB juga mengkoordiansikan kepada dirinya terkait dengan penanganan yang dilakukan untuk penanggulangan bencana di Kota Bima.
"Pas bencana di tanggal 21 Desember saya langsung menghubungi BNPB. Dan dari Deputi Tanggap Darurat merespon tanggal 24 Desember. Selanjutnya, pihak BNPB hadir di Kota Bima, digelarlah rapat di Hotel Camelia. Dan dana DSP dalam bentuk Cash For Work (CFW) dibawa tangan langsung oleh BNPB senilai Rp10 miliar baru dibuat MoU dengan Pemkot Bima di tanggal 27 Desember 2017," papar Lutfi sembari ingin menyangkal bila ada pihak yang menganggap dirinya asal bunyi tidak ikut serta memperjuangkan dana CFW.
Ia menambahkan dana CFW yang Rp500 ribu untuk 20.000 kepala keluarga itu sifatnya Dana Siap Pakai. CFW bisa juga dikatakan sebagai dana padat karya.
"Karena sifatnya darurat, DSP memang sudah disiapkan sekitar Rp4 triliun di BNPB untuk langsung menangani bencana di awal masa tanggap darurat. Kota Bima hasil komunikasi saya dengan BNPB dicairkanlah DSP Rp10 miliar untuk bersih-bersih, yang sebenarnya masuk ke langsung rekening masyarakat. Namun, karena situasi saat itu tidak memungkinkan dicairkalah lewat rekening RW di masing-masing kelurahan," tandasnya.
Sebenarnya, ia mengatakan, DSP akan mudah sekali dicairkan, jika memang ada surat tentang status tanggap darurat oleh Pemerintah Daerah dan diperkuat dengan adanya dorongan serta koordinasi anggota DPR dengan BNPB.
Untuk diketahui, ia menegaskan, pencairan CFW Rp10 miliar bukan atas proposal yang diajukan oleh Pemerintah Kota Bima. Pihak Pemkot hanya mengeluarkan surat status tanggap darurat saja. Tapi, dirinyalah yang mengkomunikasikan awal dengan BNPB hingga dana tersebut segera dicairkan tidak sampai sepekan dari hari pertama banjir bandang melanda Kota Bima.
Dilanjutkannya, dana Rp10 miliar walau sama bentuknya DSP, benda sifat nomenklaturnya dengan dana DSP yang diajukan Pemerintah Kota Bima untuk perbaikan drainase yang konon kabarnya sudah dibuat dalam MoU senilai Rp13 miliar.
Memang, dia mendengar Pemkot Bima mengajukan permohonan DSP ke BNPB sebesar Rp40 miliar untuk perbaikan drainase. Namun, kabar terakhir yang didengar hanya disetujui DSP sebesar Rp13 miliar saja. Terkait dengan lambannya turun anggaran ini, menurut Lutfi, jelas keadaan DSP ini banyak bentuknya. Dan kenapa yang Rp10 miliar mudah cair, karena dalam keadaan darurat. Dan mengapa yang Rp13 miliar agak terlambat pencairan karena diajukan melalui proposal.
"Yah, mungkin saja karena banyak daerah lain di Indonesia yang mengalami bencana, makanya DSP Rp13 miliar terlambat dicairkan untuk perbaikan drainase di Kota Bima," Lutfi mengira-ngira.
Ditegaskannya, sebenarnya, dalam menangulangi bencana kemarin, Walikota Bima sudah baik dan banyak berbuat. Namun, sambung dia, anak buah dan bawahannya, kemungkinan yang tidak memberikan pandangan dan penjelasan secara tehnis.
Menurut Lutfi, khusus masalah drainase, nomenklatur DSP sebagai dana yang langsung dikerjakan dalam pekerjaan ini harusnya secara tekhnis untuk bersih-bersih saja. Karena sifat DSP untuk keadaan darurat dan dana langsung diberikan ke Pemkot, selanjutnya pihak Pemkot yang menunjuk pelaksananya di lapangan.
Tapi, ditegaskannya, jika bentuk pekerjaan dilakukan dalam bentuk membangun kembali. Harusnya, kegiatan itu digunakan anggaran yang bentuknya rehab rekon, bukan DSP.
"DSP drainase itu untuk bersih-bersih saja. Namun, jika digunakan untuk membangun kembali itu jelas bentuk dana rehab rekon yang digunakan. Itu sudah aturan mainnya. Nomenklatur DSP sudah mengatur demikian," tutup dia. (RED)
Baca juga:
Menurut anggota DPR RI asal Daerah Pemilihan (Dapil) Nusa Tenggara Barat itu, dirinya sudah tujuh tahun menjadi anggota Komisi VIII. Dijelaskannya, di Komisi VIII cakupan bidang kerjanya berkoordinasi langsung dengan Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Lutfi mengatakan, khusus soal bencana dan bantuan dari BNPB ke Pemerintah Kota Bima, ada dua bentuk anggaran yang sudah diberikan. Pertama anggaran rehabilitasi dan kontruksi (rehab rekon) dan anggaran Dana Siap Pakai (DSP) atau yang dikenal dengan sebutan dana On Call.
Pemerintah Kota Bima, sambung Lutfi, di tahun 2015 lalu mengajukan proposal dana rehab rekon ke BNPB. Pengajuan mereka saat itu nilainya puluhan miliar. Setelah Walikota Bima (H. M. Qurais H. Abidin) dan Ketua DPRD Kota Bima bertemu dengan dirinya. Atas kordinasi dia di Komisi VIII dan BNPB, proposal pengajuan Pemerintah Kota Bima dicairkanlah dana hibah senilai Rp12 miliar.
"Pencairan dana ini murni atas dorongan kami di Komisi VIII. Dan sebelumnya memang dirinya didatangi oleh Walikota dan Ketua DPRD Kota Bima untuk membantu mengkoordinasikan dana rehab rekon itu di BNPB. Tepat di tanggal 24 November 2016 (sebelum banjir bandang). Dana tersebut ditransfer oleh BNPB ke rekening BPBD Kota Bima. Dan pihak BNPB jelas memberikan laporannya kepada kami di Komisi VIII," urai dia, Selasa, 21 Maret 2017.
Ditambahkannya, dalam pemberian dana hibah yang sifatnya rehab rekon. Mekanisme penggunaannya harus teruang dalam APBD. Dan karena pencairannya setelah APBD II Kota Bima ditetapkan tentu dana hibah tersebut akan dituangkan dalam APBD-Perubahan tahun 2017 ini.
"Nah, clear itu dana yang Rp12 miliar dalam bentuk dana hibah. Jelas itu hasil koordinasi kami dengan BNPB setelah pertemuan dengan Walikota dan Pak Feri Sofyan," ujar dia.
Anggota DPR RI dua periode itu kembali menjelaskan tentang Dana Siap Pakai (DSP) yang dikucurkan BNPB pasca terjadinya banjir bandang di Kota Bima tanggal 21 dan 23 Desember 2016 lalu.
Kata Lutfi, tepat di hari Rabu, 21 Desember 2016, saat banjir bandang melanda Kota Bima sekitar pukul 15.00 WITA. Diakuinya, dirinya langsung menelepon Deputi Tanggap Darurat BNPB RI untuk menyiapkan dana On Call atau Dana Siap Pakai untuk menanggulangi keadaan darurat bencana di Kota Bima.
Bukti koordinasi M. Lutfi dengan BNPB dalam memperjuangkan DSP pasca bencana banjir bandang lalu di Kota Bima. WHATSAPP/M. Lutfi |
"Pas bencana di tanggal 21 Desember saya langsung menghubungi BNPB. Dan dari Deputi Tanggap Darurat merespon tanggal 24 Desember. Selanjutnya, pihak BNPB hadir di Kota Bima, digelarlah rapat di Hotel Camelia. Dan dana DSP dalam bentuk Cash For Work (CFW) dibawa tangan langsung oleh BNPB senilai Rp10 miliar baru dibuat MoU dengan Pemkot Bima di tanggal 27 Desember 2017," papar Lutfi sembari ingin menyangkal bila ada pihak yang menganggap dirinya asal bunyi tidak ikut serta memperjuangkan dana CFW.
Ia menambahkan dana CFW yang Rp500 ribu untuk 20.000 kepala keluarga itu sifatnya Dana Siap Pakai. CFW bisa juga dikatakan sebagai dana padat karya.
"Karena sifatnya darurat, DSP memang sudah disiapkan sekitar Rp4 triliun di BNPB untuk langsung menangani bencana di awal masa tanggap darurat. Kota Bima hasil komunikasi saya dengan BNPB dicairkanlah DSP Rp10 miliar untuk bersih-bersih, yang sebenarnya masuk ke langsung rekening masyarakat. Namun, karena situasi saat itu tidak memungkinkan dicairkalah lewat rekening RW di masing-masing kelurahan," tandasnya.
Sebenarnya, ia mengatakan, DSP akan mudah sekali dicairkan, jika memang ada surat tentang status tanggap darurat oleh Pemerintah Daerah dan diperkuat dengan adanya dorongan serta koordinasi anggota DPR dengan BNPB.
Untuk diketahui, ia menegaskan, pencairan CFW Rp10 miliar bukan atas proposal yang diajukan oleh Pemerintah Kota Bima. Pihak Pemkot hanya mengeluarkan surat status tanggap darurat saja. Tapi, dirinyalah yang mengkomunikasikan awal dengan BNPB hingga dana tersebut segera dicairkan tidak sampai sepekan dari hari pertama banjir bandang melanda Kota Bima.
Dilanjutkannya, dana Rp10 miliar walau sama bentuknya DSP, benda sifat nomenklaturnya dengan dana DSP yang diajukan Pemerintah Kota Bima untuk perbaikan drainase yang konon kabarnya sudah dibuat dalam MoU senilai Rp13 miliar.
Memang, dia mendengar Pemkot Bima mengajukan permohonan DSP ke BNPB sebesar Rp40 miliar untuk perbaikan drainase. Namun, kabar terakhir yang didengar hanya disetujui DSP sebesar Rp13 miliar saja. Terkait dengan lambannya turun anggaran ini, menurut Lutfi, jelas keadaan DSP ini banyak bentuknya. Dan kenapa yang Rp10 miliar mudah cair, karena dalam keadaan darurat. Dan mengapa yang Rp13 miliar agak terlambat pencairan karena diajukan melalui proposal.
"Yah, mungkin saja karena banyak daerah lain di Indonesia yang mengalami bencana, makanya DSP Rp13 miliar terlambat dicairkan untuk perbaikan drainase di Kota Bima," Lutfi mengira-ngira.
Ditegaskannya, sebenarnya, dalam menangulangi bencana kemarin, Walikota Bima sudah baik dan banyak berbuat. Namun, sambung dia, anak buah dan bawahannya, kemungkinan yang tidak memberikan pandangan dan penjelasan secara tehnis.
Menurut Lutfi, khusus masalah drainase, nomenklatur DSP sebagai dana yang langsung dikerjakan dalam pekerjaan ini harusnya secara tekhnis untuk bersih-bersih saja. Karena sifat DSP untuk keadaan darurat dan dana langsung diberikan ke Pemkot, selanjutnya pihak Pemkot yang menunjuk pelaksananya di lapangan.
Tapi, ditegaskannya, jika bentuk pekerjaan dilakukan dalam bentuk membangun kembali. Harusnya, kegiatan itu digunakan anggaran yang bentuknya rehab rekon, bukan DSP.
"DSP drainase itu untuk bersih-bersih saja. Namun, jika digunakan untuk membangun kembali itu jelas bentuk dana rehab rekon yang digunakan. Itu sudah aturan mainnya. Nomenklatur DSP sudah mengatur demikian," tutup dia. (RED)
Baca juga:
nah sama kan pendapat komisi III DPRD KOBI, tentang DSP dan REHAB REKON, artinya pemkot bima salah kaprah atau memang sengaja menkaburkan mslah dana itu. Yang namanya membangun kembali pasti Rehab rekon dan harus di bahas dulu dan harus masuk ke APBD Perubahan tahun 2017. ini nuansa KKN nya kental dengan mengaburkan antara dsp dengan rr, sehingga mereka main tunjuk langsung kepada kontraktor dengan nilai yang fantastis miliaran rupiah, dan itu menyalahi ketentuan tentang pengadaan barang dan jasa.wajar kita mempertanyakan pekerjaan dimaksud krn kita adalah reprentasi dr rakyat yg memiliki uang dimaksud. banyak yg comentnya miris tentang kita krn mereka kurang paham art, makna dan prosedur penggunaan DSP DAN REHAB REKONSTRUKSI..Wassalam
BalasHapus