Selamat Jalan Sang Mutiara Donggo
https://www.metromini.info/2017/02/selamat-jalan-sang-mutiara-donggo.html
Buku biografi perjalanan KH. Abdul Majid Bakry |
Innalillahi wainna ilaihi roji’un. KH Abdul Majid Bakry alias Abu Tua Mejo, Tokoh Agama pembawa risalah Islamiyah di tanah Donggo, menghembuskan napas terakhir, Selasa (14/2/2017) sore, di kediamannya, Dusun Keto Ntembi,Desa Karamabura, Kecamatan Dompu, Kabupaten Dompu. Abu Tua Mejo wafat dalam usia 109 tahun.
KABUPATEN DOMPU - KH Abdul Majid Bakry alias Abu Tua Mejo adalah salah satu tokoh senior dalam pergerakan Islam di Bima. Sebelum mengenyam pendidikan formal tingkat lanjut, beliau sempat belajar langsung dan tinggal bersama salah satu tokoh Ulama Bima, KH. Ibrahim di Rato Sila, Bima (1936-1938).
Baru dari tahun 1941-1945 beliau melanjutkan sekolah ke Daarul Ulum di Bima. Dengan modal tersebut beliau membuka sekolah di daerahnya, Daarul Ulum Doridungga (1953-1956) dan beberapa sekolah lainnya.
Tahun 1958-1966 menjadi Wakades dan Kades O’o, dan sempat membina khusus kaum Mu’alaf Kambentu, Mbawa (1969-1972). Namun perjuangannya memang bukan tanpa aral melintang, karena kekokohannya memegang prinsip Islam dan kesungguhannya menegakkan syari’ah ditambah pribadinya yang kharismatik seringkali mengundang rasa cemburu dan kekhawatiran bagi sebuah rezim saat itu.
Maka, beliau pun acap kali menghadapi ancaman, intimidasi, hingga jeruji besi. Selama empat bulan dibui di Lapas Pekambingan, Denpasar, Bali. Tahun 1972-1973 menghuni tahanan Polisi Militer di Mataram, NTB dan kembali ke Lapas Bima selama 3 bulan, baru menjadi tahanan rumah pada tahun 1974.
Dia lahir di tahun 1920 dari seorang ayah yang bernama Pangka yang merupakan anggota Mboda, yaitu satuan keamanan di rumah Raja Bicara (Ketua Dewan Hadat Kesultanan Bima), Abdul Hamid. Sedang kakeknya adalah Kepala Kesatuan Anangguru Mboda. Barangkali faktor genetika inilah yang turun ke sang cucu kesayangan, sebagai pemberani, TGH. Abdul Majdi Bakry. (Buku Buku Mutiara Donggo adalah Biografi beliau yang ditulis oleh putra beliau, H. Ghazaly Ama La Nora, S.IP. M.Si, Dosen Sosial Politik di Universitas Mercu Buana, Universitas Indonusa Esa Unggul dan Saint Mary International. Sebagai Direktur Bea Cukai Watch dan Wartawan Politik di Jakarta, red).
Peristiwa Donggo 1972
Ingatan tentang sejarah peristiwa Donggo semakin terkonfirmasi setelah membaca literatur terkait. Sejarah peristiwa Donggo 1972 sebagai serpihan sejarah gerakan sosial rakyat Bima di era orde baru. Pada masa itu, daerah Bima dikuasai oleh sejumlah elite yang diatur oleh pusat sebagaimana juga berlaku pada daerah-daerah lain diIndonesia.
Soeharmadji adalah seorang elite militer (asal Malang Jawa Timur) yang menjabat sebagai Bupati Bima ketika itu. Awalnya, roda pemerintahan daerah Bima di bawah Soeharmadji berjalan biasa,
mulus dan adem, tapi lambat-laun kemudian bermasalah lantaran Soeharmadji banyak mengumbar janji, tapi tidak ditepati, malahan pada level kebijakan pembangunan daerah cenderung berlaku diskriminatif. Ada politik peminggiran dan marginalisasi terhadap wilayah-wilayah tertentu sehingga menuai kritikan dan resistensi dan arus bawah.
Hal inilah yang melahirkan gerakan protes dan rakyat Donggo yang saat itu terbilang mengalami marginalisasi dan aspek pembangunan (suprastruktur dan infrastruktur). Bahkan unsur-unsur tradisional yang melekat pada Donggo, tak mendapat tempat yang layak dalam bingkai historis dan kultural.
Sebagaimana dalam sejarah Bima, bahwa Donggo adalah sub-etnis yang khas, karena menurut para sejarawan (Bima) umumnya, suku Donggo termasuk penghuni yang paling awal menempati Tanah
Bima. Segala hal yang berdimensi adat, budaya dan unsur-unsur tradisional memang sangat kental dengan Donggo. Karena Soeharmadji kurang atau minim kesadaran akan peta sejarah dan kebudayaan masyarakat setempat, maka lahirlah ketidaktepatan dalam mengambil kebijakan, bahkan Soeharmadji pula yang dikatakan telah membawa kabur barang-barang pusaka yang menjadi khazanah budaya Bima.
Akumulasi dan kekecewaan masyarakat Donggo akibat dan tekanan dan ketidakadilan dan pihak penguasa beserta kaki tangannya menciptakan huru-hara di masyarakat. khirnya di bawah pimpinan tokoh masyarakatnya, yaitu Abbas Oya B.A. (H. Iba) sebagal tokoh intelektual, H. M. Ali Abu Wia (H. Kako) sebagai tokoh spiritual, Abdul Majid Bakry sebagai tokoh agama, M. All Ta’amin (H. Ale) dan Jamaludln H. Yasin (Ledo) sebagal tokoh muda perwakilan pemerintahan desa, tercapai kesepakatan untuk menggalang aksi sehingga memunculkan gerakan sosial masyarakat Donggo tahun 1972. (Rangga, 2011).
Bagaimana proses ideologisasi dan penggalangan massa aksi itu berlangsung? Abbas Oya, aktivis mahasiswa jebolan Universitas Moestopo (beragama) yang malang melintang dalam pentas pergerakan di Jakarta itu kemudian pulang kampung (kebetulan baru tamat sebagai Sarjana Sospol), turun gunung mengadvokasi rakyatnya yang ditindas penguasa anti-rakyat.
Ia berperan dalam memimpin rapat, penanaman ideologi gerakan dan langkah-langkah teknis berdemonstrasi. Lewat sebuah paguyuban pelajar dan mahasiswa Donggo Bima di ibukota, ia mendapat perkembangan isu aktual yang bekembang di daerah asalnya.
Adapun H. Kako berlakon sebagal tokoh spiritual yang mensugesti massa demonstran lewat unsur-usur tradisional fitua, agar berani maju pantang mundur.
H. Abdul Madjid Bakry — seorang ulama memberikan spirit perlawanan yang berbasis Amar Makruf Nahi Munkar. Sedangkan M. Ali Ta’amin dan Jamaludin H. Yasin tampil sebagai agitator massa aksi sehingga menggelora, membela harga diri rakyat yang terkoyak dan menentang secara jantan penguasa yang dzolim.
Akhirnya massa aksi turun berjalan kaki menuju Bima (kota) pada tanggal 22 Juni 1972. Long march ribuan massa demonstran membentangkan spanduk yang berisi tuntutan diantaranya “Turunkan Soeharmadji”, “Angkat Putra Kahir”, “Soeharmadji Segera Angkat Kaki dan Bima”, “Soeharmadji Pembohong”,”Wahai Bupati soeharmadji, mana janjimu? “Kami datang menagih janji, bukan memusuhimu”, dan lain-lain.
Kinerja rezim yang melakukan penindasan dan penyiksaan terhadap masyarakat Donggo yang tidak berdosa dengan kekuatan Iebih kurang satu batalion ABRI dan POLRI yang didatangkan dan Kodam Udayana dan sekitarnya merupakan tindakan fasisme. Masyarakat Donggo yang turun secara damai jalan kaki sejauh 40 Km ke Bima (kota) untuk menaglh janji bupati yang mau membangun infrastruktur, sarana dan prasarana jalan di Donggo yang tidak kunjung datang disam but oleh anggota DPRD dan aparat ABRI dan POLRI di Desa Pandai — Kec. Woha. (Ghazaly, 2008).
Tindakan represif yang dilakukan penguasa Soeharmadji, menurut Mustahid (2014) sebenarnya hanya pengalihan isu sebagai upaya menutupi kasus KKN yang Ia dilakukan. Bukan rahasia lagi Kayu Jati dl Tololal - Kecamatan Wera, diangkut ke Pulau Jawa dan dijual ke luar negeri, serta menguras habis benda-benda purbakala yang disimpan di Museum ASI Istana Bima. Lalu untuk menggenapkan nafsu serakahnya Ia menjual lagi halaman Museum ke orang umum.
Peristiwa Donggo 1972 ternyata tidak bisa ditaklukkan begitu saja, walaupun dltebusnya lima tokoh Peristiwa Donggo dengankurungan penjara bertahun-tahun lamanya. Berkat perjuangan tanpa mengenal mundur, pembangunan di segala bidang akhirnya dapat dinikmati dan generasi ke generasi sampai sekarang.
Apa pesan moral yang bisa kita tangkap dan Peristiwa Donggo 1972? Sederhana tapi penting bagi kita. Bupati Bima Seoharmaji memerintahkan ABRI/POLRI untuk segera menangkap para pelaku Peristiwa Donggo. Operasi penangkapan dilakukan pada malam hari dan berhasil menangkap tokoh Mahasiswa Jakarta yaitu Abbas Oya B.A, yang kemudian di bawah ke Bajo.
Sukses menangkap rombongan M. Ali Ta’amin, dilanjutkan penangkapan secara membabi buta terhadap tokoh Donggo lain hingga membuat situasi semakin mencekam. Ini menimbulkan kerisauan di kalangan masyarakat Donggo terutama nasib mereka yang tertangkap.
Menurut Tuan Guru H. Abdul Majid Bakry Peristiwa Donggo 1972 membawa pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat Kecamatan donggo baik dari segi politik, ekonomi, social dan budaya. Perkembangan politik masyarakat Donggo setelah peristiwa 1972 cukup besar pengaruhnya dimana masyarakat.
Selama menjabat anggota dewan tuan Guru Abdul Majid Bakry berhasil mengembangkan karirnya di politik dengan membawa perubahan yang sangat banyak bagi masyarkat donggo terutama dalam hal berpolitik, misalnya mengusulkan kepada Bupati Kabupaten Bima agar Kecamatan Donggo dibangun insfaktur jalan yaitu pertama; jalan yang dimulai dari Desa Tumpu menuju Desa Mpili, yang kedua; jalan dari Rora menuju ke Palama dan Ndano Mango, ketiga; jalan dari Desa Sampungu menuju ke Kilo, keempat; membuka lahan pertanian yang dijadikan sebagai daerah hewan ternak, inilah hal-hal yang di lakukan oleh Tuan Guru Abdul Majid Bakry selama menjadi anggota dewan Kabupaten Bima (1982-1987).
Selamat Jalan Abu Tua Mejo
Salah satu putri almarhum, Nurhayati, S.PdI, menjelaskan almarhum meninggalkan delapan anak dari dua istri, 29 cucu dan 13 cicit.
Sebelum meninggal, almarhum tidak menderita penyakit apapun. Hanya terbaring di tempat tidur karena usia lanjut. “Makan dan minum juga tetap lancar seperti biasa,” ujar Nurhayati.
Bahkan, sampai siang sekitar pukul 13.00 Wita (sebelum meninggal), lanjutnya, almarhum sempat makan dulu. Kemudian dilanjutkan dengan minum obat luka pinggang akibat berada sekitar dua bulan di tempat tidur.
Satu-satunya tokoh simpul pada “Peristiwa Donggo ’72” yang masih hidup adalah H Abas Oya alias Abu Iba. Saat ini, berdomisili di Desa Doridungga, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima. (RED | LAKEYNEWS.COM | MBOJOKLOPEDIA.COM)
Baru dari tahun 1941-1945 beliau melanjutkan sekolah ke Daarul Ulum di Bima. Dengan modal tersebut beliau membuka sekolah di daerahnya, Daarul Ulum Doridungga (1953-1956) dan beberapa sekolah lainnya.
Tahun 1958-1966 menjadi Wakades dan Kades O’o, dan sempat membina khusus kaum Mu’alaf Kambentu, Mbawa (1969-1972). Namun perjuangannya memang bukan tanpa aral melintang, karena kekokohannya memegang prinsip Islam dan kesungguhannya menegakkan syari’ah ditambah pribadinya yang kharismatik seringkali mengundang rasa cemburu dan kekhawatiran bagi sebuah rezim saat itu.
Maka, beliau pun acap kali menghadapi ancaman, intimidasi, hingga jeruji besi. Selama empat bulan dibui di Lapas Pekambingan, Denpasar, Bali. Tahun 1972-1973 menghuni tahanan Polisi Militer di Mataram, NTB dan kembali ke Lapas Bima selama 3 bulan, baru menjadi tahanan rumah pada tahun 1974.
Dia lahir di tahun 1920 dari seorang ayah yang bernama Pangka yang merupakan anggota Mboda, yaitu satuan keamanan di rumah Raja Bicara (Ketua Dewan Hadat Kesultanan Bima), Abdul Hamid. Sedang kakeknya adalah Kepala Kesatuan Anangguru Mboda. Barangkali faktor genetika inilah yang turun ke sang cucu kesayangan, sebagai pemberani, TGH. Abdul Majdi Bakry. (Buku Buku Mutiara Donggo adalah Biografi beliau yang ditulis oleh putra beliau, H. Ghazaly Ama La Nora, S.IP. M.Si, Dosen Sosial Politik di Universitas Mercu Buana, Universitas Indonusa Esa Unggul dan Saint Mary International. Sebagai Direktur Bea Cukai Watch dan Wartawan Politik di Jakarta, red).
Peristiwa Donggo 1972
Ingatan tentang sejarah peristiwa Donggo semakin terkonfirmasi setelah membaca literatur terkait. Sejarah peristiwa Donggo 1972 sebagai serpihan sejarah gerakan sosial rakyat Bima di era orde baru. Pada masa itu, daerah Bima dikuasai oleh sejumlah elite yang diatur oleh pusat sebagaimana juga berlaku pada daerah-daerah lain diIndonesia.
Soeharmadji adalah seorang elite militer (asal Malang Jawa Timur) yang menjabat sebagai Bupati Bima ketika itu. Awalnya, roda pemerintahan daerah Bima di bawah Soeharmadji berjalan biasa,
mulus dan adem, tapi lambat-laun kemudian bermasalah lantaran Soeharmadji banyak mengumbar janji, tapi tidak ditepati, malahan pada level kebijakan pembangunan daerah cenderung berlaku diskriminatif. Ada politik peminggiran dan marginalisasi terhadap wilayah-wilayah tertentu sehingga menuai kritikan dan resistensi dan arus bawah.
Hal inilah yang melahirkan gerakan protes dan rakyat Donggo yang saat itu terbilang mengalami marginalisasi dan aspek pembangunan (suprastruktur dan infrastruktur). Bahkan unsur-unsur tradisional yang melekat pada Donggo, tak mendapat tempat yang layak dalam bingkai historis dan kultural.
Sebagaimana dalam sejarah Bima, bahwa Donggo adalah sub-etnis yang khas, karena menurut para sejarawan (Bima) umumnya, suku Donggo termasuk penghuni yang paling awal menempati Tanah
Bima. Segala hal yang berdimensi adat, budaya dan unsur-unsur tradisional memang sangat kental dengan Donggo. Karena Soeharmadji kurang atau minim kesadaran akan peta sejarah dan kebudayaan masyarakat setempat, maka lahirlah ketidaktepatan dalam mengambil kebijakan, bahkan Soeharmadji pula yang dikatakan telah membawa kabur barang-barang pusaka yang menjadi khazanah budaya Bima.
Akumulasi dan kekecewaan masyarakat Donggo akibat dan tekanan dan ketidakadilan dan pihak penguasa beserta kaki tangannya menciptakan huru-hara di masyarakat. khirnya di bawah pimpinan tokoh masyarakatnya, yaitu Abbas Oya B.A. (H. Iba) sebagal tokoh intelektual, H. M. Ali Abu Wia (H. Kako) sebagai tokoh spiritual, Abdul Majid Bakry sebagai tokoh agama, M. All Ta’amin (H. Ale) dan Jamaludln H. Yasin (Ledo) sebagal tokoh muda perwakilan pemerintahan desa, tercapai kesepakatan untuk menggalang aksi sehingga memunculkan gerakan sosial masyarakat Donggo tahun 1972. (Rangga, 2011).
Bagaimana proses ideologisasi dan penggalangan massa aksi itu berlangsung? Abbas Oya, aktivis mahasiswa jebolan Universitas Moestopo (beragama) yang malang melintang dalam pentas pergerakan di Jakarta itu kemudian pulang kampung (kebetulan baru tamat sebagai Sarjana Sospol), turun gunung mengadvokasi rakyatnya yang ditindas penguasa anti-rakyat.
Ia berperan dalam memimpin rapat, penanaman ideologi gerakan dan langkah-langkah teknis berdemonstrasi. Lewat sebuah paguyuban pelajar dan mahasiswa Donggo Bima di ibukota, ia mendapat perkembangan isu aktual yang bekembang di daerah asalnya.
Adapun H. Kako berlakon sebagal tokoh spiritual yang mensugesti massa demonstran lewat unsur-usur tradisional fitua, agar berani maju pantang mundur.
H. Abdul Madjid Bakry — seorang ulama memberikan spirit perlawanan yang berbasis Amar Makruf Nahi Munkar. Sedangkan M. Ali Ta’amin dan Jamaludin H. Yasin tampil sebagai agitator massa aksi sehingga menggelora, membela harga diri rakyat yang terkoyak dan menentang secara jantan penguasa yang dzolim.
FOTO: Mbojoklopedia.com/GOOGLE |
Akhirnya massa aksi turun berjalan kaki menuju Bima (kota) pada tanggal 22 Juni 1972. Long march ribuan massa demonstran membentangkan spanduk yang berisi tuntutan diantaranya “Turunkan Soeharmadji”, “Angkat Putra Kahir”, “Soeharmadji Segera Angkat Kaki dan Bima”, “Soeharmadji Pembohong”,”Wahai Bupati soeharmadji, mana janjimu? “Kami datang menagih janji, bukan memusuhimu”, dan lain-lain.
Kinerja rezim yang melakukan penindasan dan penyiksaan terhadap masyarakat Donggo yang tidak berdosa dengan kekuatan Iebih kurang satu batalion ABRI dan POLRI yang didatangkan dan Kodam Udayana dan sekitarnya merupakan tindakan fasisme. Masyarakat Donggo yang turun secara damai jalan kaki sejauh 40 Km ke Bima (kota) untuk menaglh janji bupati yang mau membangun infrastruktur, sarana dan prasarana jalan di Donggo yang tidak kunjung datang disam but oleh anggota DPRD dan aparat ABRI dan POLRI di Desa Pandai — Kec. Woha. (Ghazaly, 2008).
Tindakan represif yang dilakukan penguasa Soeharmadji, menurut Mustahid (2014) sebenarnya hanya pengalihan isu sebagai upaya menutupi kasus KKN yang Ia dilakukan. Bukan rahasia lagi Kayu Jati dl Tololal - Kecamatan Wera, diangkut ke Pulau Jawa dan dijual ke luar negeri, serta menguras habis benda-benda purbakala yang disimpan di Museum ASI Istana Bima. Lalu untuk menggenapkan nafsu serakahnya Ia menjual lagi halaman Museum ke orang umum.
Peristiwa Donggo 1972 ternyata tidak bisa ditaklukkan begitu saja, walaupun dltebusnya lima tokoh Peristiwa Donggo dengankurungan penjara bertahun-tahun lamanya. Berkat perjuangan tanpa mengenal mundur, pembangunan di segala bidang akhirnya dapat dinikmati dan generasi ke generasi sampai sekarang.
Apa pesan moral yang bisa kita tangkap dan Peristiwa Donggo 1972? Sederhana tapi penting bagi kita. Bupati Bima Seoharmaji memerintahkan ABRI/POLRI untuk segera menangkap para pelaku Peristiwa Donggo. Operasi penangkapan dilakukan pada malam hari dan berhasil menangkap tokoh Mahasiswa Jakarta yaitu Abbas Oya B.A, yang kemudian di bawah ke Bajo.
Sukses menangkap rombongan M. Ali Ta’amin, dilanjutkan penangkapan secara membabi buta terhadap tokoh Donggo lain hingga membuat situasi semakin mencekam. Ini menimbulkan kerisauan di kalangan masyarakat Donggo terutama nasib mereka yang tertangkap.
Menurut Tuan Guru H. Abdul Majid Bakry Peristiwa Donggo 1972 membawa pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat Kecamatan donggo baik dari segi politik, ekonomi, social dan budaya. Perkembangan politik masyarakat Donggo setelah peristiwa 1972 cukup besar pengaruhnya dimana masyarakat.
Selama menjabat anggota dewan tuan Guru Abdul Majid Bakry berhasil mengembangkan karirnya di politik dengan membawa perubahan yang sangat banyak bagi masyarkat donggo terutama dalam hal berpolitik, misalnya mengusulkan kepada Bupati Kabupaten Bima agar Kecamatan Donggo dibangun insfaktur jalan yaitu pertama; jalan yang dimulai dari Desa Tumpu menuju Desa Mpili, yang kedua; jalan dari Rora menuju ke Palama dan Ndano Mango, ketiga; jalan dari Desa Sampungu menuju ke Kilo, keempat; membuka lahan pertanian yang dijadikan sebagai daerah hewan ternak, inilah hal-hal yang di lakukan oleh Tuan Guru Abdul Majid Bakry selama menjadi anggota dewan Kabupaten Bima (1982-1987).
Selamat Jalan Abu Tua Mejo
Salah satu putri almarhum, Nurhayati, S.PdI, menjelaskan almarhum meninggalkan delapan anak dari dua istri, 29 cucu dan 13 cicit.
Sebelum meninggal, almarhum tidak menderita penyakit apapun. Hanya terbaring di tempat tidur karena usia lanjut. “Makan dan minum juga tetap lancar seperti biasa,” ujar Nurhayati.
Bahkan, sampai siang sekitar pukul 13.00 Wita (sebelum meninggal), lanjutnya, almarhum sempat makan dulu. Kemudian dilanjutkan dengan minum obat luka pinggang akibat berada sekitar dua bulan di tempat tidur.
Satu-satunya tokoh simpul pada “Peristiwa Donggo ’72” yang masih hidup adalah H Abas Oya alias Abu Iba. Saat ini, berdomisili di Desa Doridungga, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima. (RED | LAKEYNEWS.COM | MBOJOKLOPEDIA.COM)
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.