Pemuda Sanggar Tak Ingin Jadi Buruh di Sanggar Agro
https://www.metromini.info/2017/02/pemuda-sanggar-tak-ingin-jadi-buruh-di.html
Trianda. Pimpinan PT. Sanggar Agro Karya Persada (SAKP) di Kecamatan Tambora. FOTO: Agus Gunawan/METROMINI |
KABUPATEN BIMA – PT. Sanggar Agro Karya Persada (SAKP) yang disorot oleh istri mantan karyawannya yang meninggal dunia, menganggap tak memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang utuh soal membiayai kesehatan atau memberikan pesangon karyawannya yang meninggal. Pasalnya, manajemen. PT. SAKP berdalih, bahwa pelayanan kesehatan seperti BPJS akan diberikan kepada karyawan kontrak (tetap) saja. Jika statusnya karyawan tanpa kontrak. Maka, tidak menjadi keharusan pihak perusahaan dan harus bertanggung jawab secara materil terhadap mantan-mantan karyawannya.
Menurut Pimpinan PT. SAKP, Trianda mengatakan, dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi karyawan itu dilihat dari status kerjanya di perusahaan. Kata dia, sepanjang status kerjanya belum ada ikatan kontrak, maka mereka masih dihitung karyawan lepas yang di gaji harian. Dan pastinya mereka belum mengikat kontrak yang resmi dengan perusahaan.
“Jadi di kami ada karyawan kontrak dan karyawan lepas. Untuk yang lepas hitungannya harian. Dan hitungan harian ini, ketika dia masuk kerja, harus kita bayar, begitu pak,” ujar Trianda di kantornya, di Desa Oi Katupa, Kecamatan tambora, Kabupaten Bima, Jum’at (3/2/2017).
Kata Trianda lagi, sebenarnya atas nama keluarga Lutfi pernah mengajukan surat. Namun sayangnya, Pak Lutfi lebih awal meninggal meninggal dunia. Dan pihaknya pun berharap agar memahami kondisi perusahaan dalam hal ini.
Baca juga:
"Begini pak, kemarin mereka (keluarga almarhum Lutfi) memasukkan surat. Tapi, sangat disayangkan si Lutfi ini meninggal duluan. Jadi kembali lagi tolong bapak pahami ya, bahwa ukuran kerja harian itu untuk diangkat kerja itu bukan berdasarkan lama kerja pak, ujaarnya.
Diakuinya, sifat pekerja di proyek ini tidak tetap dan sering pindah-pindah bidang dan tugasnya.
“Hari ini bapak saya suruh tanam, besok bapak saya suruh kepembibitan dan besoknya lagi saya suruh siram. Pekerjaan yang seperti ini tidak bisa langsung kita angkat sebagai tenaga kerja tetap perusahaan,” katanya.
"Sebut saya karyawan seperti Pak Abidin (Almarhum). Saya tahu kalau beliau sudah lama kerja tetapi di dalam penilaian kinerja kita pun perlu melihat dari batas umur. Nah usia di atas 50 kan tidak layak Pak untuk diangkat. Dan ini ngak bisa dipaksa. Mau saya berhentikan dia, kita juga kasihan. Artinyakan kerja ini senang sama senang, kira-kira begitulah pak,” ujarnya menambahkan.
Dia merinci, jumlah karyawan di PT. SAKP totalnya ada 274 orang. Untuk karyawan yang sudah membuat kerja dengan PT. SAKP hanya 36 orang saya.
“Kalau karyawan di sini jumlah 274 orang dan yang kontrak 36 orang. Untuk karyawan tetapnya tidak ada. Dan sifatnya yang tenaga kontrak itu sudah bagian dari karyawan tetap. Kan begitu, jadi kontrak dan tetap itu hak dan kewajiban dah sama pak. Cuman istilahnya saja yang berbeda,” paparnya.
Ia pun mengaku sejumlah 36 tenaga kontrak PT. SAKP sudah didaftarkan untuk kepesertaannya di asuransi milik pemerintah, BPJS.
“Dan semua yang kontrak, Pak. Masuk BPJS Kecuali yang ngak mau, ya kita nda bisa paksa Pak,” tutup Trianda.
Mendengar penjelasan Pimpinan manajemen PT. SAKP, keluarga almarhum Lutfi kepada Metromini menanggapinya dengan tak begitu tendensius seperti di awal berita.
“Yah, kalau memang seperti itu penjelasannya. Kami tidak bisa menuntut banyak. Karena kami sadar diri dan bukan karyawan di perusahaan yang katanya banyak uangnya itu,” sorot Azwar, keluarga Almarhum di Desa Piong, Kecamatan Sanggar, Jum’at petang tadi.
Azwar pun mengaku, dari pada menjadi tenaga kerja di PT. SAKP, dirinya lebih baik menjadi petani di tanahnya sendiri.
“Saya menghimbau kepada semua masyarakat yang ingin kerja di PT. SAKP, jangan mau jadi buruh dan budak. Dan jika pun jadi pekerja, bekerja harus dengan tanda tangan kontrak di depan. Agar mendapat hak yang adil selama dan setelah bekerja di perusahaan bibit kayu putih itu,” jelas Azhar di tengah keluarga almarhum Lutfi.
“Saya mendengar penjelasan perusahaan seperti itu. Mikir seribu kali mau jadi karyawan di sana. Jadi status ratusan orang hanya budak dan pekerja kasar saja ya di sana. Tidak ada kesejahteraan atau tanggung jawab sosial jika karyawan kenapa-kenapa. Wajar saja jika ada sebagian kelompok yang menolak kehadiran mereka di sana,” pungkas Dahlan, pemuda Desa Piong lainnya kepada Metromini. (RED)
Menurut Pimpinan PT. SAKP, Trianda mengatakan, dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi karyawan itu dilihat dari status kerjanya di perusahaan. Kata dia, sepanjang status kerjanya belum ada ikatan kontrak, maka mereka masih dihitung karyawan lepas yang di gaji harian. Dan pastinya mereka belum mengikat kontrak yang resmi dengan perusahaan.
“Jadi di kami ada karyawan kontrak dan karyawan lepas. Untuk yang lepas hitungannya harian. Dan hitungan harian ini, ketika dia masuk kerja, harus kita bayar, begitu pak,” ujar Trianda di kantornya, di Desa Oi Katupa, Kecamatan tambora, Kabupaten Bima, Jum’at (3/2/2017).
Kata Trianda lagi, sebenarnya atas nama keluarga Lutfi pernah mengajukan surat. Namun sayangnya, Pak Lutfi lebih awal meninggal meninggal dunia. Dan pihaknya pun berharap agar memahami kondisi perusahaan dalam hal ini.
Baca juga:
- Dua Karyawan Meninggal, PT. SAKP Dituding ‘Masa Bodoh’
- Korban: Puluhan Preman Serang Warga Desa Oi Katupa, Diduga Suruhan PT. SAKP
- Tak Terurus, Kantor Desa Oi Katupa Bagai Rumah Hantu
"Begini pak, kemarin mereka (keluarga almarhum Lutfi) memasukkan surat. Tapi, sangat disayangkan si Lutfi ini meninggal duluan. Jadi kembali lagi tolong bapak pahami ya, bahwa ukuran kerja harian itu untuk diangkat kerja itu bukan berdasarkan lama kerja pak, ujaarnya.
Diakuinya, sifat pekerja di proyek ini tidak tetap dan sering pindah-pindah bidang dan tugasnya.
“Hari ini bapak saya suruh tanam, besok bapak saya suruh kepembibitan dan besoknya lagi saya suruh siram. Pekerjaan yang seperti ini tidak bisa langsung kita angkat sebagai tenaga kerja tetap perusahaan,” katanya.
"Sebut saya karyawan seperti Pak Abidin (Almarhum). Saya tahu kalau beliau sudah lama kerja tetapi di dalam penilaian kinerja kita pun perlu melihat dari batas umur. Nah usia di atas 50 kan tidak layak Pak untuk diangkat. Dan ini ngak bisa dipaksa. Mau saya berhentikan dia, kita juga kasihan. Artinyakan kerja ini senang sama senang, kira-kira begitulah pak,” ujarnya menambahkan.
Dia merinci, jumlah karyawan di PT. SAKP totalnya ada 274 orang. Untuk karyawan yang sudah membuat kerja dengan PT. SAKP hanya 36 orang saya.
“Kalau karyawan di sini jumlah 274 orang dan yang kontrak 36 orang. Untuk karyawan tetapnya tidak ada. Dan sifatnya yang tenaga kontrak itu sudah bagian dari karyawan tetap. Kan begitu, jadi kontrak dan tetap itu hak dan kewajiban dah sama pak. Cuman istilahnya saja yang berbeda,” paparnya.
Ia pun mengaku sejumlah 36 tenaga kontrak PT. SAKP sudah didaftarkan untuk kepesertaannya di asuransi milik pemerintah, BPJS.
“Dan semua yang kontrak, Pak. Masuk BPJS Kecuali yang ngak mau, ya kita nda bisa paksa Pak,” tutup Trianda.
Mendengar penjelasan Pimpinan manajemen PT. SAKP, keluarga almarhum Lutfi kepada Metromini menanggapinya dengan tak begitu tendensius seperti di awal berita.
“Yah, kalau memang seperti itu penjelasannya. Kami tidak bisa menuntut banyak. Karena kami sadar diri dan bukan karyawan di perusahaan yang katanya banyak uangnya itu,” sorot Azwar, keluarga Almarhum di Desa Piong, Kecamatan Sanggar, Jum’at petang tadi.
Azwar pun mengaku, dari pada menjadi tenaga kerja di PT. SAKP, dirinya lebih baik menjadi petani di tanahnya sendiri.
“Saya menghimbau kepada semua masyarakat yang ingin kerja di PT. SAKP, jangan mau jadi buruh dan budak. Dan jika pun jadi pekerja, bekerja harus dengan tanda tangan kontrak di depan. Agar mendapat hak yang adil selama dan setelah bekerja di perusahaan bibit kayu putih itu,” jelas Azhar di tengah keluarga almarhum Lutfi.
“Saya mendengar penjelasan perusahaan seperti itu. Mikir seribu kali mau jadi karyawan di sana. Jadi status ratusan orang hanya budak dan pekerja kasar saja ya di sana. Tidak ada kesejahteraan atau tanggung jawab sosial jika karyawan kenapa-kenapa. Wajar saja jika ada sebagian kelompok yang menolak kehadiran mereka di sana,” pungkas Dahlan, pemuda Desa Piong lainnya kepada Metromini. (RED)
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.