Walikota Bima Pertama Angkat Bicara Soal Bencana
https://www.metromini.info/2017/01/walikota-bima-pertama-angkat-bicara.html
H. Muchtar H. A. Wahab, BA, Walikota Bima yang pertama tahun 2002 saat status kota administratif. Foto: Agus Mawardy/METROMINI |
“Inilah cobaan yang Allah berikan, dan hanya dengan sholat dan sabar kita bisa melewati ujian menata kembali Kota Bima kita tercinta,” ungkap H. Muhtar, Walikota Bima yang pertama di tahun 2002 lalu. Saat status Pemerintah Kota Bima adalah Kota Administratif (Kotip) atau persiapan menjadi kota yang definitif (baca: Pemerintah Kota Bima).
Baca juga:
- Kota Bima Kembali Berduka, Puluhan Ribu Rumah Terendam Banjir
- Dua Kali Dihantam Banjir, Kota Bima Darurat Bencana
- Ini Info Terkini Pasca Banjir yang Melanda Kota Bima
- Dari Kota Berteman Menjadi Kota Angker
H. Muhtar secara eksklusif menceritakan, perjuangan mewujudkan Kota Bima 15 tahun yang silam bersama beberapa rekan aparatur lainnya yang pindah dari Kabupaten Bima sebagai daerah induk, bukanlah perkara yang mudah dan sederhana.
“Pro dan kontra tentulah ada. Tapi, Alhamdulillah berkat dukungan masyarakat dan pusat, maka diketuklah Undang-undang No. 13 tahun 2002 tentang Pembentukan Kota Bima, dimana Pilkada saat itu dilaksanakan lewat pemilihan legislatif di tahun 2013 setelah Pemerintah Kota Bima dibentuk.
Saya hanya menjadi Walikota saat status Pemkot adalah Kotip, selanjutnya digantikan oleh Pak H. Nur (Sekda NTB sekarang) sebagai pejabat hingga terpilih pasangan Kepala Daerah dan Wakilnya (H. M. Nur A. Latif dan H. Umar Abubakar) dalam Pilwakot yang dipilih oleh 25 anggota legislatif saat itu,” kenang dia, belum lama ini kepada Wartawan Metromini, di kediamannya di Kelurahan Lewirato, Kecamatan Mpunda, Kota Bima.
Selanjutnya, H. Muhtar menceritakan, di bawah kepemimpinan Walikota definitif atas Pemkot Bima (H. M. Nur), geliat pembangunan dan semangat menata Kota Bima sangat luar biasa. Satu periode dan di usia kota yang berumur 5 tahun saja, sudah memiliki 6 Sekolah Dasar (SD) bertaraf internasional. Belum lagi pembangunan Kantor Gedung Walikota dan DPRD Kota Bima, polesan Amahami sebagai tempat wisata tergores sebagai catatan pengabdian Kepala Daerah kala itu.
“Saya kira Almarhum Nur Latif, nawaitu membangunnya sungguh luar biasa. Wajar jika dia bisa menang dalam satu putaran padahal ada sekitar 5 atau 6 pasangan calon di Pilwakot tahun 2008 lalu,” imbuh kakek dengan tatapan kosong di teras kediamannya.
H. Muhtar dengan nyaring suara menambahkan, setelah kejadian banjir di akhir bulan Desember 2016, geliat pembangunan Kota Bima baik yang menjadi prasasti dan buah prestasi pembangunan mantan walikota baik Almarhum H. M. Nur dan walikota yang sekarang (H. M. Qurais) menjadi sia-sia belaka.
“Saya perkirakan kehancuran pasca dua kali banjir bandang yang melanda Kota Bima kerusakannya sekitar 80%,” sebutnya.
Diakuinya, memang soal bencana adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Namun, sebab dan musababnya pun pasti ada. Dua aspek dari adanya bencana patut kita perhatikan secara seksama.
Karena, sambung Muhtar, selain teguran dai Allah SWT, bencana pun lahir dari kelalaian dan kebodohan serta ketidakpahaman aparatur negara dalam mengelola tata kota dan mewujudkan kondisi alam yang humanis, seimbang dan asri adanya.
“Kota Bima ini bisa dibilang kalau dulu satu kecamatan saja luasnya (baca: Kecamatan Rasanae). Tentunya, dia memiliki koneksitas dengan kecamatan-kecamatan tetangganya yang harus terus berkesinambungan dan bekerja sama dalam menata khusus Daerah Aliran Sungai (DAS) baik di wilayah hulu hingga wilayah hilir,” paparnya.
Dijelaskannya, dengan dijadikan dua wilayah kekuasaan yang sejajar bentuknya. Harusnya pola kerjasama yang sebelum pemekaran sering dijalankan harus terus terbina dan terpelihara.
“Dulu program bidang pertanian, perkebunan, kehutanan dan kelautan di lintas Kecamatan sering terkoordinasi. Hingga kondisi alamnya saling menjaga dan tidak berdampak pada daerah tetangga,” katanya.
Kondisi ini, Muhtar menegaskan, ada hal semacam miskomunikasi yang hilang pasca dipisahkannya Kota Bima dari Kabupaten Bima sebagai daerah induknya.
“Hasilnya berkat kinerja yang tidak terkoordinasi dan ego para pemimpinnya yang selalu mengedepankan aspek politik, maka kesinambungan program dalam menata keseimbangan alam yang dulu selalu dilakukan kian terkikis adanya. Kepala Daerah bisanya ribut soal aset hingga alam dieksploitasi dan dilakukan tanpa koordinasi lintas wilayah,” jelasnya.
Hasilnya, masih bersama H, Muhtar, 15 tahun setelah program tersebut tidak dijalankan secara berhubungan dan berkesinambungan, alam menjadi tidak seimbang. Dan kehidupan manusia terancam oleh kondisi alam yang oleh manusianya tidak bisa dikelola dan dimanfaatkan sebaik-baiknya,” terangnya.
Mulai sekarang, Muhtar mengharapkan, pada wilayah hulu seperti di Sape, Wawo bahkan Wera, Pemerintah Kota Bima segera berkoordinasi dengan Bupati Bima, agar lebih serius menata kawasan hulu dan penanaman pohon serta berbagai program tetap dan program pencegahan.
“Banjir yang terjadi di Kota Bima ini kan selain air hujan yang mengguyur segenap kawasan kota, tapi meruahnya dan tingginya debit air karena kondisi hutan pada wilayah hulu yang sudah tidak terawat seperti sedia kala. Menanggulangi kondisi ini, perlu bicara antara kedua belah pihak, dan mengesampingkan aspek politik yang ada,” tegasnya.
Ditambahkannya pula, kondisi Kota Bima yang bisa dikatakan mengalami kerusakan yang cukup parah, harus dievaluasi kembali dan pemerintah harus lebih hati-hati dalam hal menyajikan fasilitas dan kenyamanan masyarakat Kota Bima.
“Melihat kondisi yang ada, saya memprediksikan sekitar lima tahun lebih kurang Kota Bima bisa kembali tersenyum seperti sedia kala. Dan intinya, wilayah hulu (Wawo, Sape, Wera) untuk penataannya Pemkot Bima harus berkoordinasi dengan Pemkab Bima. Sedangkan di wilayah hilir (laut), kondisinya harus terjaga, jangan ada reklamasi atau penimbunan yang terjadi di sana, karena akan mempengaruhi deposit air yang mengalir ke laut,” papar Mantan Camat di masa Orde Baru itu.
Ia pun memprediksi butuh waktu yang cukup lama untuk mengembalikan kondisi Kota Bima seperti sedia kala.
“Kita butuh sekitar lima tahun lagi untuk pembenahan kota agar kembali seperti sedia kala,” tutup H. Muhtar sembari menyerumput kopi sajian Istrinya tercinta. (RED)
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.