Kehilanganmu Menoreh Luka & Berhentilah Ber-HOAX
https://www.metromini.info/2017/01/kehilanganmu-menoreh-luka-berhentilah.html
Usman D. Ganggang. FOTO: Usmand Ganggang/FACEBOOK |
OPINI (SASTRA) - KEHILANGAN? Ya, kehilangan memberi warna tersendiri. Dan pasti dirasakan oleh setiap orang. Entahlah, apakah kehilangan orang tua karena diterjang banjir bandang, kehilangan sanak saudara karena ditembak mati dalam perang, kehilangan om dan tante karena bunuh diri lantaran anak gadisnya kabur bersama kekasih tercinta, dan atau kehilangan harga diri. Pokoknya, kehilangan akan menoreh luka yang amat dalam.
KEHILANGANMU
Oleh: Pujangga Asakota
Kehilanganmu pedihku
Sepiku adalah luka
Kemana mencari jatimu
Ketika prahara mencuat dengan diam
Terlalu dini munculkan kalut
Terlalu jauh prasangka bergayut
Kala benang merah melilit
Kala duka melebur dihidup
Tak akan terjamah rautmu kini
Tak akan ada cerita biru membuncah
Beku dan kesunyian hatimu saat ini
Akhiri sebuah asa yang kelam
Dirimu misteri diangan
Sesaat bahagia sejenak ada airmata
Coba tersenyum dalam tegar yang luruh
Namun sia-sia………
Andai jejakmu menjauh
Telah kusiapkan air mata untukmu
Andai langkahmu terhenti
Berpalinglah……
Karena ada sejumput luka yang kau tinggalkan
Seperti kehilangan yang dikemas Pujangga Asakota dalam edisi kali ini, dilukiskan dalam warna tersendiri. Aku-lirik kehilangan kekasih membuatnya bukan saja sedih, pedih, akan tetapi kehilangan itu juga bisa menoreh luka. Setumpuk beban bergelut dalam benak “aku-llirik” (= aku yang diceritakan).
Terasa begitu menyiksa bahkan memaksa aku-lirik untuk mencoba tersenyum tegar yang luruh sekaligus berusaha sampai mogok makan misalnya. Ya, kontradiksi sekali ketika cinta bersemi, dunia terasa milik berdua. Ya, ketika makan ingat kamu, ketika ke wc ingat kamu dan ketika hendak tidur juga ingat kamu. Tapi kini ke manakah semua itu pergi? Pertanyaan mendasar yang perlu digugat kembali terusik kalau mengingat semua itu.
Entahlah, yang jelas, tentang kehilangan yang menjadi dominan di sini terpatri indah pada judul yakni “Kehilanganmu”. Lalu diterangjelaskan pada bait ke-1 : /Kehilanganmu pedihku/sepiku adalah luka//. Dan pada bait terakhir diberi amanat (pesan) yang rada kontradiksi sekedar untuk menegaskan : /Andai jejakmu menjauh/telah kusiapkan airmata untukmu/andai langkahmu terhenti/berpalinglah karena sejumput luka yang kau tinggalkan//
RINDU
Oleh: Pujangga Asakota
Pagi merayap beku
Tubuh rapuhku mengeliat kedinginan
Dalam asa sunyiku
Saat kutunggu sejumput rindumu
Sadar kutemui bayangmu dalam kabut
Masihkah kau simpan selaksa buatku?
Sadar ku jemput kau dalam mimpi
Berlari kau menjauh tinggalkan aku sendiri
Ketika pudarkan nuansamu
Luruh bening di pupil satu-satu
Akhiri cerita indah denganmu
Hatipun terberai dalam kekalutan
Sejak jejakmu tiada berpaling
Nostalgia itu kan abadi dalam sanubari
Rindu dan cintamu sempat kunikmati
Akankah kembali?
Seiring bayangmu memudar
Katup mataku terpejam
Biarkan
Sejenak kubermimpi tentang kita
Biarkan siluetmu menari di cakrawala hatiku
Sementara itu, pada sajak “Rindu” juga karya Pujangga Asakota, terdiskripsi suasana batin aku-lirik tentang kerinduannya terhadap dia-lirik. Dengan caranya yang khas, ia memposisikan dirinya sebagai penggelisah, perindu, sekaligus sebagai pencari yang ujung-ujungnya dihadapkan pada pernyataan berupa pertanyaan, “Mengapa cinta harus dinikmati kalau pada akhirnya dikhianati? Meskikah aku-lirik menunggu dan menunggu tanpa batas waktu, sementara dia-lirik berselingkuh di sana?
Mungkinkah dia-lirik akan kembali merajut cinta agar bersama lagi? Dan seabrek pertanyaan lainnya.
Semakin banyak pertanyaan yang dihadirkan justru membuat aku-lirik sedih dan gelisah. Kesedihan dan kegelisahan itu terlukis dalam bait pertama : /Pagi merayap beku/tubuh rapuhku menggeliat kedinginan/dalam asa sunyiku/saat kutunggu sejumput rinduku//. Dan meski tak kunjung ada jawaban, kisah-kasih di masa lalu terekam jelas dalam sanubari sehingga sesewaktu akan terngiang-ngiang di telinga. Perhatikan bait ke-4 :/Sejak jejakmu tiada berpaling /nostalgiamu sempat kunikmati/akankah kembali//.
Sekali lagi, di sini penyair melukiskan bentuk pencitraan dari penggelisah (baca aku-lirik) karena gejolak batinnya terombang-ambing terkait kehilanganmu (dia-lirik) yang menyebabkan aku-lirik senantiasa didera gelisah oleh polah tingkah si dia yang tak kunjung datang kabar berita dari seberang. Pertanyaan mendasar untuk itu, adalah apakah sebab-akibat dalam kehilangan itu?
Di sini kita sebagai penikmat betul-betul diberi ruang yang luas untuk memprediksi faktor sebab-musabab dalam kehilangan tersebut.Dari sini pulalah, kita boleh acungi jempol buat Pujangga Asakota karena dia selalu memberi dan memperhatikan lingkungan sekitar, kemudian menggugat segala yang menjadi keprihatinannya dalam kehidupan orang-orang di sekitarnya terutama perkara kehilangan pada umumnya dan kehilangan kekasih khususnya.
Segala problem di lingkungan seperti cinta misalnya, didalami, diendapkan, kemudian diangkat dalam dunia cipta. Apalagi jika yang dikemas bermuara pada hati dan jiwa. Ya, insya Allah akan memberi nilai yang terbaik, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
Mengapa nian? Pasalnya, mencintai adalah kerelaan memberi tanpa mengharapkan imbalan apapun. Seorang pecinta sejati adalah orang yang suka memberi dan hanya mengharap balasan kebaikan itu dari Allah SWT dan bukan dari manusia. Selamat menulis lagi dan terimalah salam hangat dari redaksi. Inilah puisi yang dibicarakan di atas!
Berhentilah ber-Hoax Ria,
Areal Pekuburan Tak Dibangun Lagi
***Beberapa bulan belakangan ini, kata ‘hoax’ produktif sekali penggunaannya oleh pengguna bahasa. Bukan main-main, setelah kita cermati di media, baik media cetak maupun media elektronik, nyaris tiada hari tanpa kata ‘hoax’, artinya, kata ‘hoax’ selalu diakrabi oleh pengguna bahasa baik dari rakyat biasa maupun oleh pejabat, lebih-lebih pejabat pusat.
Adakah itu sebuah trend? Boleh jadi, pengguna bahasa sudah bosan dengan memanfaatkan kata bohong sebagai padanannya dalam bahasa Indonesia. onkretnya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, memaknai kata 'hoax itu sebagai berikut : (1) Hoax adalah kata yang berarti ketidak benaran suatu, (2) informasi; Berita bohongdan (3) Berita bohong, tidak bersumber.
Untuk apa kata 'bohong' diganti? Tentu, alasannya menurut netizen Indonesia: akibat persebaran internet dimana semakin memudahkan penggunanya dalam mengakses informasi yang tak terbatas. Jika pada jaman dahulu seseorang harus bersusah payah dalam mengakses maupun menyebarkan berita, maka di era serba digital ini berlaku sebaliknya. Saking mudahnya informasi bisa didapatkan hingga menyebabkan banyak pihak yang menjadi korban atas tersebarnya berita palsu alias berita hoax.
Pertanyaannya, "Mengapa sangat doyan” menyebarkan berita hoax, padahal maknanya yang mengacu pada berita palsu ?" “Banyak orang merasa hebat kalau jadi yang pertama menyebarkan informasi, entah benar atau tidak,”kata beberapa pakar, sambil menambahkan," Mencari sensasi, berlomba-lomba menikmati kesenangan dalam kebohongan,” tambah Komarudin.
Hoax adalah hal berbahaya yang akibatnya bisa sangat merugikan bagi pihak yang menjadi korban, mulai dari kehilangan reputasi, materi, bahkan juga bisa mengancam nyawa. Bahkan dirinya menyamakan bahaya hoax dengan narkoba karena sifatnya yang adiktif. Kalau ini dipahami seperti itu, mengapa pula kita doayan dengan hoax? Mengapa kita senantiasa membangun istana mega di atas kebohongan indah? Padahal kalau dicermati lagi, areal pekuburan sudah tidak tersedia lagi, karena sudah dibangun dengan bangunan mega. Haem!
Penulis: Usman D. Ganggang
KEHILANGANMU
Oleh: Pujangga Asakota
Kehilanganmu pedihku
Sepiku adalah luka
Kemana mencari jatimu
Ketika prahara mencuat dengan diam
Terlalu dini munculkan kalut
Terlalu jauh prasangka bergayut
Kala benang merah melilit
Kala duka melebur dihidup
Tak akan terjamah rautmu kini
Tak akan ada cerita biru membuncah
Beku dan kesunyian hatimu saat ini
Akhiri sebuah asa yang kelam
Dirimu misteri diangan
Sesaat bahagia sejenak ada airmata
Coba tersenyum dalam tegar yang luruh
Namun sia-sia………
Andai jejakmu menjauh
Telah kusiapkan air mata untukmu
Andai langkahmu terhenti
Berpalinglah……
Karena ada sejumput luka yang kau tinggalkan
Seperti kehilangan yang dikemas Pujangga Asakota dalam edisi kali ini, dilukiskan dalam warna tersendiri. Aku-lirik kehilangan kekasih membuatnya bukan saja sedih, pedih, akan tetapi kehilangan itu juga bisa menoreh luka. Setumpuk beban bergelut dalam benak “aku-llirik” (= aku yang diceritakan).
Terasa begitu menyiksa bahkan memaksa aku-lirik untuk mencoba tersenyum tegar yang luruh sekaligus berusaha sampai mogok makan misalnya. Ya, kontradiksi sekali ketika cinta bersemi, dunia terasa milik berdua. Ya, ketika makan ingat kamu, ketika ke wc ingat kamu dan ketika hendak tidur juga ingat kamu. Tapi kini ke manakah semua itu pergi? Pertanyaan mendasar yang perlu digugat kembali terusik kalau mengingat semua itu.
Entahlah, yang jelas, tentang kehilangan yang menjadi dominan di sini terpatri indah pada judul yakni “Kehilanganmu”. Lalu diterangjelaskan pada bait ke-1 : /Kehilanganmu pedihku/sepiku adalah luka//. Dan pada bait terakhir diberi amanat (pesan) yang rada kontradiksi sekedar untuk menegaskan : /Andai jejakmu menjauh/telah kusiapkan airmata untukmu/andai langkahmu terhenti/berpalinglah karena sejumput luka yang kau tinggalkan//
RINDU
Oleh: Pujangga Asakota
Pagi merayap beku
Tubuh rapuhku mengeliat kedinginan
Dalam asa sunyiku
Saat kutunggu sejumput rindumu
Sadar kutemui bayangmu dalam kabut
Masihkah kau simpan selaksa buatku?
Sadar ku jemput kau dalam mimpi
Berlari kau menjauh tinggalkan aku sendiri
Ketika pudarkan nuansamu
Luruh bening di pupil satu-satu
Akhiri cerita indah denganmu
Hatipun terberai dalam kekalutan
Sejak jejakmu tiada berpaling
Nostalgia itu kan abadi dalam sanubari
Rindu dan cintamu sempat kunikmati
Akankah kembali?
Seiring bayangmu memudar
Katup mataku terpejam
Biarkan
Sejenak kubermimpi tentang kita
Biarkan siluetmu menari di cakrawala hatiku
Sementara itu, pada sajak “Rindu” juga karya Pujangga Asakota, terdiskripsi suasana batin aku-lirik tentang kerinduannya terhadap dia-lirik. Dengan caranya yang khas, ia memposisikan dirinya sebagai penggelisah, perindu, sekaligus sebagai pencari yang ujung-ujungnya dihadapkan pada pernyataan berupa pertanyaan, “Mengapa cinta harus dinikmati kalau pada akhirnya dikhianati? Meskikah aku-lirik menunggu dan menunggu tanpa batas waktu, sementara dia-lirik berselingkuh di sana?
Mungkinkah dia-lirik akan kembali merajut cinta agar bersama lagi? Dan seabrek pertanyaan lainnya.
Semakin banyak pertanyaan yang dihadirkan justru membuat aku-lirik sedih dan gelisah. Kesedihan dan kegelisahan itu terlukis dalam bait pertama : /Pagi merayap beku/tubuh rapuhku menggeliat kedinginan/dalam asa sunyiku/saat kutunggu sejumput rinduku//. Dan meski tak kunjung ada jawaban, kisah-kasih di masa lalu terekam jelas dalam sanubari sehingga sesewaktu akan terngiang-ngiang di telinga. Perhatikan bait ke-4 :/Sejak jejakmu tiada berpaling /nostalgiamu sempat kunikmati/akankah kembali//.
Sekali lagi, di sini penyair melukiskan bentuk pencitraan dari penggelisah (baca aku-lirik) karena gejolak batinnya terombang-ambing terkait kehilanganmu (dia-lirik) yang menyebabkan aku-lirik senantiasa didera gelisah oleh polah tingkah si dia yang tak kunjung datang kabar berita dari seberang. Pertanyaan mendasar untuk itu, adalah apakah sebab-akibat dalam kehilangan itu?
Di sini kita sebagai penikmat betul-betul diberi ruang yang luas untuk memprediksi faktor sebab-musabab dalam kehilangan tersebut.Dari sini pulalah, kita boleh acungi jempol buat Pujangga Asakota karena dia selalu memberi dan memperhatikan lingkungan sekitar, kemudian menggugat segala yang menjadi keprihatinannya dalam kehidupan orang-orang di sekitarnya terutama perkara kehilangan pada umumnya dan kehilangan kekasih khususnya.
Segala problem di lingkungan seperti cinta misalnya, didalami, diendapkan, kemudian diangkat dalam dunia cipta. Apalagi jika yang dikemas bermuara pada hati dan jiwa. Ya, insya Allah akan memberi nilai yang terbaik, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
Mengapa nian? Pasalnya, mencintai adalah kerelaan memberi tanpa mengharapkan imbalan apapun. Seorang pecinta sejati adalah orang yang suka memberi dan hanya mengharap balasan kebaikan itu dari Allah SWT dan bukan dari manusia. Selamat menulis lagi dan terimalah salam hangat dari redaksi. Inilah puisi yang dibicarakan di atas!
Berhentilah ber-Hoax Ria,
Areal Pekuburan Tak Dibangun Lagi
***Beberapa bulan belakangan ini, kata ‘hoax’ produktif sekali penggunaannya oleh pengguna bahasa. Bukan main-main, setelah kita cermati di media, baik media cetak maupun media elektronik, nyaris tiada hari tanpa kata ‘hoax’, artinya, kata ‘hoax’ selalu diakrabi oleh pengguna bahasa baik dari rakyat biasa maupun oleh pejabat, lebih-lebih pejabat pusat.
Adakah itu sebuah trend? Boleh jadi, pengguna bahasa sudah bosan dengan memanfaatkan kata bohong sebagai padanannya dalam bahasa Indonesia. onkretnya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, memaknai kata 'hoax itu sebagai berikut : (1) Hoax adalah kata yang berarti ketidak benaran suatu, (2) informasi; Berita bohongdan (3) Berita bohong, tidak bersumber.
Untuk apa kata 'bohong' diganti? Tentu, alasannya menurut netizen Indonesia: akibat persebaran internet dimana semakin memudahkan penggunanya dalam mengakses informasi yang tak terbatas. Jika pada jaman dahulu seseorang harus bersusah payah dalam mengakses maupun menyebarkan berita, maka di era serba digital ini berlaku sebaliknya. Saking mudahnya informasi bisa didapatkan hingga menyebabkan banyak pihak yang menjadi korban atas tersebarnya berita palsu alias berita hoax.
Pertanyaannya, "Mengapa sangat doyan” menyebarkan berita hoax, padahal maknanya yang mengacu pada berita palsu ?" “Banyak orang merasa hebat kalau jadi yang pertama menyebarkan informasi, entah benar atau tidak,”kata beberapa pakar, sambil menambahkan," Mencari sensasi, berlomba-lomba menikmati kesenangan dalam kebohongan,” tambah Komarudin.
Hoax adalah hal berbahaya yang akibatnya bisa sangat merugikan bagi pihak yang menjadi korban, mulai dari kehilangan reputasi, materi, bahkan juga bisa mengancam nyawa. Bahkan dirinya menyamakan bahaya hoax dengan narkoba karena sifatnya yang adiktif. Kalau ini dipahami seperti itu, mengapa pula kita doayan dengan hoax? Mengapa kita senantiasa membangun istana mega di atas kebohongan indah? Padahal kalau dicermati lagi, areal pekuburan sudah tidak tersedia lagi, karena sudah dibangun dengan bangunan mega. Haem!
Penulis: Usman D. Ganggang
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.