Di Balik Kontroversialnya Ajaran Syekh Siti Jenar
https://www.metromini.info/2017/01/di-balik-kontroversialnya-ajaran-syekh.html
Ilustrasi wajah Syeikh Siti Jenar. Foto: Google. |
HISTORIA - Sosok Syeikh Siti Jenar adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi pada masa itu dan beliau merupakan sosok penyebar agama islam di Pulau Jawa khususnya di Kabupaten Jepara. Hingga saat ini keberadaannya masih menjadi polemik bahkan ada yang menganggap sebagai pergulatan imajinasi liar manusia, mitos, dongeng, dan ada juga yang menganggapnya sebagai kisah nyata.
Berita kematiannya pun menjadi perbincangan yang tidak kalah menarik. Sempat muncul setidaknya dua versi kuat tentang kematian Syekh Siti Jenar yang mengimplikasikan beliau berada dalam dua kubu. Pertama, di kalangan pesantren selalu ditekankan bahwa kematian Syekh Siti Jenar dihukum pancung oleh para Wali. Alasan hukuman adalah karena ajarannya dianggap menyesatkan masyarakat. Kedua, seperti yang pernah dikisahkan Abdul Munir Mulkan dalam bukunya Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar dan Achmad Chodjim dalam bukunya Syekh Siti Jenar, Makna Kematian–Syekh Siti Jenar mati karena memilih kematiannya sendiri.
Bagaimanapun tentang riwayat sejarahnya saja yang tidak menemui titik terang. Sejarah asal-usulnya pun simpang siur. Merujuk Wikipedia Syekh Siti Jenar dikenal dalam banyak nama seperti Syekh Siti Jenar (artinya: tanah merah) yang memiliki nama asli Raden Abdul Jalil (ada juga yang menyebutnya Hasan Ali) (juga dikenal dengan nama Sunan Jepara, Sitibrit, Syekh Lemahbang, dan Syekh Lemah Abang).
Sosok kontroversial yang melekat padanya bermula dari ajaran keagamaannya yang dianggap sesat dan menyimpang dari islam dan petuah para wali pada masa itu. Ajarannya yang paling terkenal adalah Manunggaling kawula-gusti, yang artinya manusia bisa bersatu dengan Tuhan atau Allah ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi.
Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh(ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." Q.S. Shaad: 71-72
Konsep ini mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam, kira-kira pada abad ke-9 Masehi) tentang hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat Tuhan dan manusia. Ajaran ini kemudian disalahpahami dan dipropoganda oleh sebagian masyarakat dan tokoh-tokoh terutama para ulama yang berseberangan dengan ajarannya karena dianggap menyudutkan ajaran islam dan menggugurkan ajaran Monoteisme (ke Maha tunggalan Allah) yang dimana telah mengasumsikan atau menganggap dirinya mengaku sebagai Tuhan.
Pengikut dan pendukung beliau membatahnya dengan berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Arti dari “Manunggaling Kawula Gusti” dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya. Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia:
Sebagian kalangan menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang intelektual yang telah memperoleh esensi Islam itu sendiri. Ajaran-ajarannya tertuang dalam karya sastra buatannya yang disebut pupuh. Ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti. Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo dimana pemahaman ketauhidan melewati empat tahap, yaitu:
- Syariat, dengan menjalankan hukum-hukum agama seperti salat, zakat, dan lain-lain,
- Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid, zikir dalam waktu dan hitungan tertentu,
- Hakekat, di mana hakikat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan, dan
- Makrifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya.
Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham Manunggaling Kawula Gusti.
Menurut R.Ng. Ranggawarsita (1802-1873) : Pokok keilmuan Syekh Siti Jenar disebut sebagai “Ngelmu Ma’rifat Kasampurnaning Ngurip” (ilmu ma’rifat kesempurnaan hidup [the science of ma’rifat to attain perfection of life]). Ranggawarsita menyebutkan basis ilmiah ajaran tersebut adalah renungan filsafat yang bentuk aplikasinya adalah metafisika dan etika.
Ajaran metafisika meliputi ontologi, kosmogoni dan antropologi. Ontologi berbicara tentang ada dan tidak ada. Dalam hal ini, Syekh Siti Jenar merumuskan tentang the Reality of the Absolute being (hakikat Dzat Yang Maha Suci) yang memiliki sifat, nama dan perbuatan “Kami”. Dari “Kami” inilah kemudian muncul “ada” dan “keadaan” lain, yang sifat hakikinya adalah “Tunggal”.
Manusia yang dalam hidupnya di alam kematian dunia ini disebut sebagai khalifatullah (wakil Allah=pecahan ketunggalan Allah), dan kemudian ia harus berwadah dalam bentuk jisim (jasmani) ia harus menyandang gelar “kawula”, sebab jasad harus melakukan aktivitas untuk memelihara jasadnya dari kerusakan dan untuk menunda kematian yang disebut :”ngibadah” kepada yg menyediakan raga (Gusti). Maka kawula hanya memiliki satu tempat kembali, yakni Allah, sebagai asalnya. Maka manusia tidak boleh terjebak dalam wadah yang hanya berfungsi sementara sebagai “wadah” Roh Ilahi. Justru Roh Ilahi inilah yang harus dijaga guna menuju ketunggalan kembali (Manunggaling Kawula Gusti).
Ajaran ini banyak ditentang karena Tuhan dan manusia adalah hal yang berbeda. Tuhan yang mencipta sedangkan manusia yang diciptakan. Jadi antara yang menciptakan dan yang diciptakan tidak bisa bersatu. (RED | WIKIPEDIA.ORG | REAKSIPIKIR.BLOGSPOT.CO.ID)
Baca juga:
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.