Tokoh Intelektual Dara Kupas Masalah Timbunan di Watasan Amahami
https://www.metromini.info/2016/12/tokoh-intelektual-dara-kupas-masalah.html
Penimbunan Pantai Amahami. Foto: Wahyu Syaban/METROMINI |
KOTA BIMA – Dari tahun 2013 silam penolakan warga Kelurahan Dara, Kecamatan Rasanae Barat, Kota Bima dengan adanya reklamasi atau proses timbunan di pinggir pantai Amahami lantang disuarakan. Berkali-kali aksi dilakukan di tahun 2013 lalu, era di mana awal-awal, H. Qurais menjabat sebagai Walikota Bima. Namun, gerakan demosntrasi itu meredup. Dugaan adanya aroma kompromi pun menjadi isu tak sebab dibalik terhentinya gerakan kala itu.
Tahun 2013 telah 3 tahun berlalu. Di penghujung tahun 2016 ini, Pemerintah Kota Bima ternyata memiliki agenda pengadaan jalan yang baru. Lintasannya, dari jalan raya Amahami tembus ke arah barat hingga ke Jalan Padolo III lingkungan Sarata. Spot dan lintasan jalan ini ternyata di kawasan Pantai amahami. Otomatis, cara membuatnya dengan menimbun laut atau lebih dikenal dengan istilah aklamasi.
Proyek ini tak berjalan sesuai rencana. Masyarakat maupun anggota DPRD Kota Bima yang mendengar ada konntraktor yang menimbun laut, dan membuat jalan baru. Secara serentak menyatakan sikapnya dan meminta proyek jalan itu dihentikan untuk sementara waktu.
Polemik ini ternyata dipandang serius oleh Walikota Bima, H. M. Qurais H. Abidin. Lelaki yang akrab dipanggil Aba Qurais turun dan meninjau keadaan proyek yang dikerjakan Baba Ngeng, yang tidak lain adalah kerabat dekat Walikota Bima sejak dulu.
Pantauan Metromini, proyek ini pekerjaannya saat ini telah dipending. Kasus ini pun seolah dioper ke lembaga legislasi, setelah protes warga yang sempat menduduki kantor DPRD Kota Bima beberapa pekan yang lalu.
Hasilnya, ada kesepakatan dan tahapan dalam mencari solusi dan membongkar kasus penimpunan itu. Awalnya, kegiatan dimulai dengan mematok terpisah tanah Pemkot Bima yang luasanya ada 5 ha, yang kini ditempatkan sebagai lokasi bangunan pasar tradisonal Amahami. Proses pematokan dan pembuatan tapal batas milik pemerintah telah berlalu di hari Selasa, 6 Desember 2016 lalu.
Selanjutnya, pembahasan akan mengarah pada lokasi lahan di luar yang 5 hektar. Tanah yang saat ini sudah dimiliki sebagian kelompok warga itu menjadi sasaran pembahasan baru. Menurut keterangan warga Dara, lahan yang dimiliki itu dulunya adalah laut.
"Pastinya, di lahan pasar amahami dan di bagian barat maupun timur itu dulu adalah laut. Sejak kecil kami sering bermain dan mencari kerang di kawasan itu. Namun, laut itu ditimbun oleh pihak-pihak tertentu. Kita pun mempertanyakan dasar ditimbunnya laut. Kami menduga timbunan itu dilakukan secara illegal. dan Parahnya, banyak di atas tersebut yang telah dikeluarkan sertifikatnya oleh BPN Kota Bima," sorot Rangga anggota Tim Tujuh yang menjadi delegasi warga Dara di kasus timbunan tanah Amahami ini.
Baca juga
Rangga mengaku, dalam kegiatan penimbunan di proyek jalan baru, pihaknya mendatangi kotaktor di situ. Ia mempertanyakan legalitas atau ijin yang dimiliki kontraktor hingga bisa meniumbun laut. Karena tak bisa menunjukkan ijinnya, jelas pengerjaan proyek ini dilakukan tidak sesuai dengan prosedur yang ada.. Akhirnya, Rangga dan rekan-rekannya meminta proyek ini dihentikan.
“Setelah mendengar ada proyek timbun laut lagi, Saya langsung ke lokasi dan menanyakan ijin pihak kontraktor. Kami sempat berdebat, bahkan Walikota pun datang saat itu. Tapi, karena ijin reklamasinya tidak ada, ya kami meminta ptoyek ini dihentikan. Kebetulan ada pihak depan yang datang, dan menyatakan sikap yang sama seperti kami," ungkap Rangga.
Rangga menjelaskan, untuk melakukan reklamasi harus memenuhi sejumlah persyaratan yang sudah diatur. Diantaranya rekomendasikan para ahli, memperhatikan peraturan reklamasi, harus memenuhi izin prinsip pemanfaatan ruang, rekomendasi SKPD terkait, izin lokasi reklamasi, serta ijin pelaksanaan reklamasi.
“Jika tidak memenuhi syarat Pasal 36 Ayat (1) Subsider Pasal 109 UU RI Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ditegaskan dalam Pasal 109 disebutkan, setiap orang berusaha tanpa memiliki izin lingkungan, dipidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp1 miliar atau paling banyak Rp3 miliar,” ujar Rangga, Alumni STISIP Bima kepada Metromini belum lama ini.
Senada dengan Rangga, tokoh pemuda Kelurahan Dara, M. Taufikurrahman, SH menjelaskan, proyek reklamasi pembangunan jalan dari Jalan Raya Amahami menuju jalan Padolo III pemerintah sudah mempertimbangkan dampak menimbun laut ini, apa tak mengganggu keseimbangan lingkungan pantai, tak berdampak ke drainase kota atau tidak menggangu tatanan ekosistem laut yang ada di Pantai
"Dalam pembangunan jalan baru ini, Dewan dan rakyat kan sama-sama meminta menunjukkan ijin dan pemenuhan persyaratan reklamasi dalam penimbunan pembuatan jalan ini. Jika sudah mengantongi ijin, silahkan lanjutkan pembangunannya,” katanya.
Namun, mantan security ini menegaskan, jangan coba-coba melanjutkan permbangunan atau meneruskan proyek timbunan dengan cara 'preman’ yang asal main timbun saja, lalu ijin reklamsinya tidak ada.
"Kami muak dengan para pihak, yang sok berkuasa, yang sok punya uang lantas seenaknya mengkapling laut bahkan mensertifikat hak milik areal tersebut. Proses timbunan yang mereka lakukan ini sudah benar apa belum. Kalau tidak ada ijin dan syarat-syarat timbunannya tidak dipenuhi, kami selaku warga daerah ini, akan tetap persoalkan masalah ini," ancam Opik.
Menurut dia, kasus timbunan Amahami ini kan di masa almarhum Walikota Bima sudah ada tersangkanya. Unsur materil kasus itu salah satunya adalah masalah timbunan, Kalau caranya timbunnya illegal, maka sama halnya laut itu dirampok oleh pemiliknya saat ini," pungkasnya kepada Metromini.
Ia pun menegaskan, soal lahan milik Pemkot di atas bangunan pasar yang 5 ha sudah ditentukan tapal batasnya.
“Kami sudah membentuk tim 7 untuk wakil Kelurahan Dara. Dan bersama DPRD Kota Bima akan mengusut kepemilikan pribadi di samping timur dan barat lokasi pasar. Yang pasti, lokasi tersebut dulunya adalah laut. Dan sebelah timur pasar atau dipinggir jalan raya, informasinya dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Bima adalah hutan bakau. Mengapa sekarang menjadi lahan milik warga? Kami pun mempertanyakan Perda Tata Ruang dan Perda Rencana Detail Tata Ruang Kota Bima. Semestinya untuk sebuah Peraturan Daerah (Perda) segera dilakukan sosialisasi kepada warga, biar jelas peruntukkan di lokasi Watasan Amahami Kelurahan Dara ini,” Taufik menguraikan secara gamblang duduk persoalan yang sedang berkembang dibalik masalah timbunan lahan Amahami.
Masih menurut Taufik, dalam hal ini, pihaknya akan menelusuri proses dan sejarah lahan yang ada. Mengapa laut yang ditimbun dan diduga tidak mengantongi ijin reklamasi banyak yang telah disertifikat hak milik?
Pihaknya pun percaya dengan kinerja beberapa anggota DPRD Kota Bima. Dan Tim 7 akan mendengar keterangan para pihak dalam pertemuan bersama DPRD Kota Bima untuk pembahasa kepemilikan lahan pribadi.
Taufik menegaskan masalah ini pada akhirnya akan tetap dilaporkan ke Kepolisian.
“Setelah mendengar penjelasan dari para pihak baik dari pemerintah maupun saksi dan pemilik lahan, kami akan melaporkan secara resmi ke pihak yang berwajib soal timbunan ini,” pungkasnya.
“Pelaporan secara pidana ini yang akan memberikan fakta hukum apa memang lahan di Watasan Amahami itu, penimbunannya dilakukan secara illegal dan telah mengantongi sejumlah syarat reklamasi pantai atau tidak,” sorot dia menambahkan.
Dengan ditimbunnya lahan yang dikuasai segelintar warga, sesuai dengan data yang telah beredar, pihaknya menduga dalam kasus ini akan banyak pihak yang terlibat jika memang proses timbunan dilakukan secara illegal.
Opik melanjutkan, kembali soal pembangunan jalan baru, pihaknya sesungguhnya tidak alergi dengan keinginan pemerintah yang ingin membangun fasilitas untuk masyarakat. Asalkan saja, ijin, cara dan mekanismenya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
“Pointnya, jangan tergesa-gesa buat jalan, kalau ijin reklamasinya dan syarat-syaratnya belum dimiliki. Dan jangan sampai, ada kepentingan titipan, dengan adanya jalan pemerintah di sebelah utara dan selatan pasar raya Amahami, sehingga melegitimasi kepemilikan lahan sekelompok warga yang diduga melakukan timbunan illegal hingga ke Jalan Padolo III,” tegas Opik kepada Metromini sambil menyeruput kopi di pangkalan depan Terminal Dara Sabtu (11/12/2016) malam. (RED)
Tahun 2013 telah 3 tahun berlalu. Di penghujung tahun 2016 ini, Pemerintah Kota Bima ternyata memiliki agenda pengadaan jalan yang baru. Lintasannya, dari jalan raya Amahami tembus ke arah barat hingga ke Jalan Padolo III lingkungan Sarata. Spot dan lintasan jalan ini ternyata di kawasan Pantai amahami. Otomatis, cara membuatnya dengan menimbun laut atau lebih dikenal dengan istilah aklamasi.
Proyek ini tak berjalan sesuai rencana. Masyarakat maupun anggota DPRD Kota Bima yang mendengar ada konntraktor yang menimbun laut, dan membuat jalan baru. Secara serentak menyatakan sikapnya dan meminta proyek jalan itu dihentikan untuk sementara waktu.
Polemik ini ternyata dipandang serius oleh Walikota Bima, H. M. Qurais H. Abidin. Lelaki yang akrab dipanggil Aba Qurais turun dan meninjau keadaan proyek yang dikerjakan Baba Ngeng, yang tidak lain adalah kerabat dekat Walikota Bima sejak dulu.
Pantauan Metromini, proyek ini pekerjaannya saat ini telah dipending. Kasus ini pun seolah dioper ke lembaga legislasi, setelah protes warga yang sempat menduduki kantor DPRD Kota Bima beberapa pekan yang lalu.
Hasilnya, ada kesepakatan dan tahapan dalam mencari solusi dan membongkar kasus penimpunan itu. Awalnya, kegiatan dimulai dengan mematok terpisah tanah Pemkot Bima yang luasanya ada 5 ha, yang kini ditempatkan sebagai lokasi bangunan pasar tradisonal Amahami. Proses pematokan dan pembuatan tapal batas milik pemerintah telah berlalu di hari Selasa, 6 Desember 2016 lalu.
Selanjutnya, pembahasan akan mengarah pada lokasi lahan di luar yang 5 hektar. Tanah yang saat ini sudah dimiliki sebagian kelompok warga itu menjadi sasaran pembahasan baru. Menurut keterangan warga Dara, lahan yang dimiliki itu dulunya adalah laut.
"Pastinya, di lahan pasar amahami dan di bagian barat maupun timur itu dulu adalah laut. Sejak kecil kami sering bermain dan mencari kerang di kawasan itu. Namun, laut itu ditimbun oleh pihak-pihak tertentu. Kita pun mempertanyakan dasar ditimbunnya laut. Kami menduga timbunan itu dilakukan secara illegal. dan Parahnya, banyak di atas tersebut yang telah dikeluarkan sertifikatnya oleh BPN Kota Bima," sorot Rangga anggota Tim Tujuh yang menjadi delegasi warga Dara di kasus timbunan tanah Amahami ini.
Baca juga
- Lanjutan Soal Timbunan, Pansus Dewan Diwacanakan
- Setelah Patok 5 Ha, Dewan Bakal Telusuri Kaplingan Pribadi Pantai Amahami
- Bahas per Lokasi, Cara Dewan mencari Solusi Kasus Timbunan Amahami
Rangga mengaku, dalam kegiatan penimbunan di proyek jalan baru, pihaknya mendatangi kotaktor di situ. Ia mempertanyakan legalitas atau ijin yang dimiliki kontraktor hingga bisa meniumbun laut. Karena tak bisa menunjukkan ijinnya, jelas pengerjaan proyek ini dilakukan tidak sesuai dengan prosedur yang ada.. Akhirnya, Rangga dan rekan-rekannya meminta proyek ini dihentikan.
“Setelah mendengar ada proyek timbun laut lagi, Saya langsung ke lokasi dan menanyakan ijin pihak kontraktor. Kami sempat berdebat, bahkan Walikota pun datang saat itu. Tapi, karena ijin reklamasinya tidak ada, ya kami meminta ptoyek ini dihentikan. Kebetulan ada pihak depan yang datang, dan menyatakan sikap yang sama seperti kami," ungkap Rangga.
Rangga menjelaskan, untuk melakukan reklamasi harus memenuhi sejumlah persyaratan yang sudah diatur. Diantaranya rekomendasikan para ahli, memperhatikan peraturan reklamasi, harus memenuhi izin prinsip pemanfaatan ruang, rekomendasi SKPD terkait, izin lokasi reklamasi, serta ijin pelaksanaan reklamasi.
“Jika tidak memenuhi syarat Pasal 36 Ayat (1) Subsider Pasal 109 UU RI Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ditegaskan dalam Pasal 109 disebutkan, setiap orang berusaha tanpa memiliki izin lingkungan, dipidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp1 miliar atau paling banyak Rp3 miliar,” ujar Rangga, Alumni STISIP Bima kepada Metromini belum lama ini.
Senada dengan Rangga, tokoh pemuda Kelurahan Dara, M. Taufikurrahman, SH menjelaskan, proyek reklamasi pembangunan jalan dari Jalan Raya Amahami menuju jalan Padolo III pemerintah sudah mempertimbangkan dampak menimbun laut ini, apa tak mengganggu keseimbangan lingkungan pantai, tak berdampak ke drainase kota atau tidak menggangu tatanan ekosistem laut yang ada di Pantai
"Dalam pembangunan jalan baru ini, Dewan dan rakyat kan sama-sama meminta menunjukkan ijin dan pemenuhan persyaratan reklamasi dalam penimbunan pembuatan jalan ini. Jika sudah mengantongi ijin, silahkan lanjutkan pembangunannya,” katanya.
Namun, mantan security ini menegaskan, jangan coba-coba melanjutkan permbangunan atau meneruskan proyek timbunan dengan cara 'preman’ yang asal main timbun saja, lalu ijin reklamsinya tidak ada.
"Kami muak dengan para pihak, yang sok berkuasa, yang sok punya uang lantas seenaknya mengkapling laut bahkan mensertifikat hak milik areal tersebut. Proses timbunan yang mereka lakukan ini sudah benar apa belum. Kalau tidak ada ijin dan syarat-syarat timbunannya tidak dipenuhi, kami selaku warga daerah ini, akan tetap persoalkan masalah ini," ancam Opik.
Menurut dia, kasus timbunan Amahami ini kan di masa almarhum Walikota Bima sudah ada tersangkanya. Unsur materil kasus itu salah satunya adalah masalah timbunan, Kalau caranya timbunnya illegal, maka sama halnya laut itu dirampok oleh pemiliknya saat ini," pungkasnya kepada Metromini.
Ia pun menegaskan, soal lahan milik Pemkot di atas bangunan pasar yang 5 ha sudah ditentukan tapal batasnya.
“Kami sudah membentuk tim 7 untuk wakil Kelurahan Dara. Dan bersama DPRD Kota Bima akan mengusut kepemilikan pribadi di samping timur dan barat lokasi pasar. Yang pasti, lokasi tersebut dulunya adalah laut. Dan sebelah timur pasar atau dipinggir jalan raya, informasinya dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Bima adalah hutan bakau. Mengapa sekarang menjadi lahan milik warga? Kami pun mempertanyakan Perda Tata Ruang dan Perda Rencana Detail Tata Ruang Kota Bima. Semestinya untuk sebuah Peraturan Daerah (Perda) segera dilakukan sosialisasi kepada warga, biar jelas peruntukkan di lokasi Watasan Amahami Kelurahan Dara ini,” Taufik menguraikan secara gamblang duduk persoalan yang sedang berkembang dibalik masalah timbunan lahan Amahami.
Masih menurut Taufik, dalam hal ini, pihaknya akan menelusuri proses dan sejarah lahan yang ada. Mengapa laut yang ditimbun dan diduga tidak mengantongi ijin reklamasi banyak yang telah disertifikat hak milik?
Pihaknya pun percaya dengan kinerja beberapa anggota DPRD Kota Bima. Dan Tim 7 akan mendengar keterangan para pihak dalam pertemuan bersama DPRD Kota Bima untuk pembahasa kepemilikan lahan pribadi.
Taufik menegaskan masalah ini pada akhirnya akan tetap dilaporkan ke Kepolisian.
“Setelah mendengar penjelasan dari para pihak baik dari pemerintah maupun saksi dan pemilik lahan, kami akan melaporkan secara resmi ke pihak yang berwajib soal timbunan ini,” pungkasnya.
“Pelaporan secara pidana ini yang akan memberikan fakta hukum apa memang lahan di Watasan Amahami itu, penimbunannya dilakukan secara illegal dan telah mengantongi sejumlah syarat reklamasi pantai atau tidak,” sorot dia menambahkan.
Dengan ditimbunnya lahan yang dikuasai segelintar warga, sesuai dengan data yang telah beredar, pihaknya menduga dalam kasus ini akan banyak pihak yang terlibat jika memang proses timbunan dilakukan secara illegal.
Opik melanjutkan, kembali soal pembangunan jalan baru, pihaknya sesungguhnya tidak alergi dengan keinginan pemerintah yang ingin membangun fasilitas untuk masyarakat. Asalkan saja, ijin, cara dan mekanismenya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
“Pointnya, jangan tergesa-gesa buat jalan, kalau ijin reklamasinya dan syarat-syaratnya belum dimiliki. Dan jangan sampai, ada kepentingan titipan, dengan adanya jalan pemerintah di sebelah utara dan selatan pasar raya Amahami, sehingga melegitimasi kepemilikan lahan sekelompok warga yang diduga melakukan timbunan illegal hingga ke Jalan Padolo III,” tegas Opik kepada Metromini sambil menyeruput kopi di pangkalan depan Terminal Dara Sabtu (11/12/2016) malam. (RED)
Selamat siang,, mohon maaf saya tidak melihat keterangan nama dari penulis, saya ingin tahu nama enulis sebagai keterangan dalam footnote enulisan tugas akhir saya. Terima kasih.
BalasHapus