Pandangan Akademisi, Dibalik Layar Kasus Anti Ahok

M. Chairil Akbar. Ilustrasi: dokumen Metromini
JAKARTA – Ahok atau Basuki Cahaya Purnama yang saat ini statusnya sebagai Gubernur Jakarta non aktif telah dijadikan tersangka atas dugaan penistaan agama. Ahok dijerat Pasal 156 dan 156 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penghujatan dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun penjara. Ketersangkaan Ahok setelah menyinggung soal Surat Al-Maidah ayat 51 saat melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 lalu.

Pernyataan Ahok memicu kemarahan jutaan umat Islam. Pada 4 November dan 2 Desember 2016, Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) turun ke jalan untuk menuntut penegakan hukum kasus tersebut. Jutaan massa ikut dalam aksi terbesar dari sejarah perjalanan republik ini

Menurut Akademisi M. Chairil Akbar, SHi, MA. dalam analisanya di balik aksi GNPF MUI pada 411 dan 212, dijelaskannya, dua kali gerakan yang dibangun kaum Muslim Indonesia tidak bisa dianggap remeh. Kuantitas massa yang demikian besar perlu dilihat dan dipertimbangkan sebagai kekuatan politik yang cukup signifikan.

“Barangkali, ini menjadi salah satu bukti bahwa Islam politik di negeri kita masih mempunyai taring. Jika dianalisa lebih jauh, GNPF MUI boleh jadi menciptakan tekanan populisme baru yang akan mengubah pembacaan dan taktik politik di wilayah elit atau bahkan masyarakat secara umum di Indonesia,” papar dia dalam releasenya yang disampaikan ke redaksi Metromini, Selasa (6/12/2016) kemarin.

Terlepas dari kecurigaan bahwa protes anti Ahok dibonceng kepentingan dan motif lain, lelaki yang akrap disapa Wawan itu mengungkapkan, setidaknya fenomena gerakan Muslin Indonesia menghasilkan dua pelajaran penting.

Pertama, aksi massa masih menjadi metode terbaik untuk mendesakan perubahan atau merubah kebijakan. Kedua, kelompok gerakan lain mungkin dapat belajar sedikit banyak tentang bagaimana mengkonsolidasikan mosi tidak percaya dan kekecewaan rakyat. Terutama di dalamnya bagaimana mengorganisir massa secara konsisten dan jangka panjang.

“Namun begitu, kita tidak boleh lupa memahami organisasi seperti FPI secara historis dan ekonomi-politik. Watak FPI yang sesungguhnya adalah reaksioner dan konservatif. Mereka secara terbuka membuang kosa-kata demokrasi dan konsep Hak Asasi Manusia dari kamusnya. Insiden anti toleransi terhadap kelompok Islam lain seperti Syiah tentu masih sangat segar dalam ingatan kita,” sebut Alumini SMAN 1 Kota Bima yang menakar eksistensi FPI di balik gerakan anti Ahok ini.

(Baca: Aksi Bela Islam: Antara Bela Agama dan Bela Oligarki)

Wawan melanjutkan, eksistensi FPI yang bersimpati terhadap ISIS, kemudian “melunak” atas isu ini, hingga menutup celah lain bagi tafsir Islam yang berbeda. Dan sikap organisasi ini yang kerap melayangkan tuduhan-tuduhan kafir kepada pihak-pihak lain.

“Ketika dibidik oleh pemerintah dengan tudingan anti pancasila maka mereka (FPI) dengan lihai “merubah” haluan. Maka lahirlah slogan jihad konstitusi atau jihad NKRI. Tapi, anehnya ini masih disertai oleh visi mereka untuk menegakan syariat Islam di dalam negara yang konstitusinya jelas-jelas sekuler dan demokratik,” pungkas dia.

Dicontohkannyha pula, diskusi bedah buku yang bertendensi demokrasi-sosialis sudah pasti dicap kafir dan haram oleh FPI. Diskusi seperti itu layak untuk direpresi dalam potret eksistensi FPI selama ini.

Ia melanjutkan, insiden bentrokan di Monas bebrapa tahun silam dengan massa yang mengkampanyekan pluralism, bukti lain bahwa gerakan FPI sangat kontradiksi dengan platform dan ideology mereka yang reaksioner dan konservatif.

“Dalam kaca mata ekonomi-politik, GNPF MUI atau ormas Islam dengan perspektif sejenis justru menjadi patung. Tak berkutik dihadapan kebijakan neoliberal yang semakin massif sejak era reformasi. Problem-problem pokok rakyat seperti kemiskinan, penggusuran, pencabutan subsidi, hingga penghancuran alam demi profit bisnis yang tak terkontrol absen dalam visi mereka,” sebut dia yang menyayangkan sikap politik organisasi berlabel agama selama ini.

Dibalik kasus ini, sambung dia, seolah-olah Islam ingin kiamat saja. Dugaan Ahok melakukan penistaan terhadap isi dalam kitab suci ummat Muslim, bukan saja menunjukkan kekuatan solidaritas muslim Indonesia, tapi seolah-olah Islam akan kiamat di balik kasus penistaaan oleh Ahok yang akan dipersidangkan di Pengadilan pekan depan.

Dikatakannya pula, semuanya merupakan fenomena struktural dan sistemik yang mungkin saja korban terbesarnya adalah umat Islam itu sendiri. Sampai disini, menurut Alumni Magister HI UGM itu menambahkan, seseorang akan bertanya, kenapa hal demikian tidak dijadikan sebagai platform penting gerakan Islam politik.

“Jawaban yang paling dekat menurut saya ada pada, pertama, perspektif gerakannya itu sendiri. Terdapat keengganan dan kegagalan dalam memahami realitas ekonomi-politik. Kapitalisme tidak pernah dibaca sebagai konflik kepentingan kelas, sebagai konflik kelompok mustakbirin dengan mustadhafin,” ungkap Dosen Universitas 17 Agustus Jakarta itu.

Akademisi kelahiran Kelurahan Pane, Kota Bima itu menambahkan, persoalan ekonomi tidak pernah dianalisa secara kritis, radikal, dan terarah. Mereduksi kapitalisme kedalam kategori moralitas, agama, etnis atau pluralisme adalah kesalahan serius. Muslim kaya pribumi, pemilik perusahaan, suka menyumbang boleh jadi mengeksploitasi para pekerja atau buruhnya. Mendukung sistem outsourcing atau penggusuran atas nama kebebasan berinvestasi, tidak dilihat sebagai masalah dalam tubuh kaum Muslimin itu senditi.

Padahal, masalah ummat yang harus menjadi perhatian seius ormas Islam hari ini adalah kapitalisme dan kerakusan pejabat dan pengusaha baik yang berlatarbelakang muslim atau pun bukan. Ditambahkannya, kasus salah satu ulama terkenal di Indonesia ketika pencabutan subsidi BBM di era SBY yang ikut bergandengan tangan dengan intelektual liberal, yang mengusung pluralism adalah masalah ketokohan muslim yang harus dilihat secara seksama.

“Mendukung kebijakan-kebijakan neolib yang menjajah secara ekonomi dan gerakan anti Ahok ini adalah 2 kubu yang bersebrangan, namun bersatu di bawah isu-isu neoliberal,” tambahnya..

Ia melanjutkan, absennya analisa ekonomi-politik membuat kelompok-kelompok Islam reaksioner mudah berkubang dalam lubang kepentingan elit. Menurut dia, hal ini bahkan lebih parah lagi saat dijadikan instrument untuk memukul gerakan rakyat pada akar rumput yang progresif.

“Faktanya, golongan akar rumput di negeri ini tetap terombang ambing dan selalu menjadi pion-pion skenario elit politik dan pebisnis besar,” pungkas Wawan.

Jadi, Menurut Akademisi muda itu, persolan sesungguhnya bukanlah anti Ahok, bukan pula anti jokowi ataupun anti kafir. Persoalan substansinya menyangkut redsitribusi kesejahteraan.

“Keadilan sosial hanya bisa dicapai jika hegemoni dan kekuasan kapitalisme neoliberal bisa diminamilisir, dibendung, atau bahkan dilucuti, Harusnya, wajah Islam yang akan menjadi berkah dan rahmat bagi semua manusia adalah melawan hegemoni dan kekuasaan kapitalisme demi kesejahteraan yang nyata untuk rakyat Indonesia,” tutup dia. (RED)

Related

Opini 2365860117289719273

Posting Komentar

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.

emo-but-icon

FANSPAGE METROMINI

METROMINI VIDEO

Arsip Blog

Ikuti Tweet Metromini

item