Catatan Ketua Dewan Kesenian Soal Teluk Amahami
https://www.metromini.info/2016/12/catatan-ketua-dewan-kesenian-soal-teluk.html
KOTA BIMA – Dalam status Facebook miliknya, Ketua Dewan Kesenian (DK) Kota Bima, Husain La Odet menulis essay singkat dengan judul “Aku, Masjid tepian air dan Teluk”.
Dengan tegas dituliskan Odet bahwa dirinya sangat tidak sepakat dengan rencana Pemerintah Kota Bima membangun mesjid terapung di Pantai Amahami.
“Saya sederhana saja ngga sepakat dengan masjid terapung :-) coba kita bayangkan kalo kita sholat ketika saat air pasang.... yang sholat pasti terombang ambing ..... tentu arah kiblat pun bergeser kan ? wah.....jangan-jangan pas selesai sholat mihrabnya dah menghadap ke selatan, ke utara atau balik 180° ke timur. soal nama ikon masjid terapung saja, ana dah pusing duluan....,” kicau Odet di status Facebook miliknya, Kamis, 8 Desember 2016.
Dijelaskannya, persoalan tehnis dari rencana pembangunan ini harus dihitung secara cermat dan tepat. Soal korosi bangunan oleh air laut perlu dipertimbangkan untuk jangka waktu yang lama. Dan dari sisi estetikanya, sambung Budayawan itu, sangat kontradiksi dengan keberadaan pasar yang kesan kumuh dan
kesemrawutannya masih kental dan kentara
“Lah belum kita analisa korosi bangunan oleh air asin, apakah mampu bertahan 30, 40, atau 100 tahun ke depan? terus bagaimana pertimbangan estetika bangunan super keren itu bisa ditunjang oleh pasar "maaf" sembrawut dan kumuh? ya namanya pasar tradisional di Bima rumusnya harus kumuh, karena memang begitu realitas yang nampak..... dan saya kira tanah di sekitar itu sudah dimiliki dan dibeli oleh pemiliki modal, karena memang mahal bukan? saya selalu yakin 5~10 tahun akan datang daerah sekitar itu akan tumbuh bangunan gudang dan atau bangunan hunian he he he.....,” tulis pelantun puisi Sajak Api itu dengan kesan dan nada becanda tapi serius intinya.
Diakuinya, soal teluk bima dan pendangkalan lumpur patut dipertimbangkan. Erosi dan sampah di kawasan teluk harus menjadi prioritas perhatian pembangunan yang ada.
“Pun teluk Bima akan menjadi masalah dari segi pendangkalan oleh lumpur, erosi dan sampah, yang bersumber dari pasar, limbah hunian dan atau dari pelancong yang menikmati indahnya masjid terapung yang komplit dengan taman/ruang bersama yang keren pula..... hmmm....kalo saya bisa berpendapat, justru saya berpikir ekstrim, tidak memikirkan bangun sesuatu yang tidak urgen, extrimnya usulan saya sebagai solusi yakni memprioritaskan pembangunan tanggul sepanjang Ama Hami sampai pelabuhan, maksudnya sebagai pembatas biar teluk tidak di timbun dan dimiliki terus oleh masyarakat..... kenapa proyek tanggul yang diupayakan? karena teluk adalah ikon kota yang sebenarnya. Bukan Ama Hami, Ina Hami atau nama yg tak jelas asal-usulnya,” sorot dia
Dia menambahkan, kondisi teluk bisa akan menjadi ancaman bagi Kota Bima. Pasalnya, jika laut tidak kian diuruk dengan permukaannya yang akan sama tingginya dengan daratan. Masalah ini akan menjadi ancaman untuk puluhan tahun mendatang—yang berdampak pada permukaan laut dan ancaman banjir seperti di daerah Utara ibukota Jakarta.
“Teluk kalo tidak dipikirkan kondisinya akan menjadi ancaman bagi kota. saya selalu percaya, jika laut didesak dengan urukan maka permukaannya akan semakin tinggi dari daratan..... pun tak bisa dihindari 10 tahun ke depan, Kota Bima akan banjir laut,” demikian catatan Ketua Dewan Kesenian Kota Bima yang dituangkan dalam akun FB dengan judul “Aku, Masjid tepian air dan Teluk” disadur pewarta Metromini. (RED)
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.