Bangun Mesjid Terapung "Kebijakan Mumpung atau Kebijakan Bingung"
https://www.metromini.info/2016/12/bangun-mesjid-terapung-mumpung-atau.html
Kiri: Masterplan Masjid Terapung Amahami. Foto: Bappeda Kota Bima | Kiri: Masjid Al Muwahiddin Bima. Foto: Iwan |
REDAKSI - Rencana Pemerintah Kota Bima yang ingin membangun masjid terapung di kawasan Pantai Amahami Bima sudah dianggarkan Rp12 miliar dalam kantong APBD Kota Bima tahun anggaran 2017. Kebijakan ini dinilai kontroversial. Bicara pembangunan rumah ibadah, bukan hal yang mendesak jika masjid terapung itu segera diadakan.
Rencana lokasinya tepat di titik bersandarnya kapal milik Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bima yang pernah dijadikan tempat usaha rumah makan bagi warga yang menyewanya. Kapal itu pun terlihat tak berdaya, kondisinya mulai lapuk dihantam gelombang laut dan dimakan kerang laut yang menempel pada bodi kapal.
Mesjid terapung ini tidak main-main nilai anggarannya. Atas pandangan pembangunan yang diberikan oleh Universitas Petra asal Surabaya, Pemerintah Kota (Pemkot) Bima menggelontorkan Rp 20 miliar dalam pos Daftar Isian Penggunaan Anggaran (DIPA) Dinas Pekerjaan Umum, Pertambangan dan energi Kota Bima. Sungguh angka yang fantastis nilainya.
Dinamika pembahasan anggaran di dapur Komisi dan Badan Anggaran DPRD Kota Bima pun telah usai. Rp 20 miliar dinilai terlalu besar. Disepakatilah pembangunan masjid terapung ini senilai Rp 12 miliar. Rancangan dan gambar bangunannya pun belum diekspos oleh Pemerintah Kota Bima. Masyarakat pun bertanya. Mesjid semegah apakah yang dibangun Pemerintah Kota Bima dengan anggaran belasan miliar di sudut Pantai Amahami?
Manfaat kehadiran masjid ini pun kerap dipertanyakan publik saat ini. Lokasi pembangunan mesjid, jika benar tepat di bekas kapal milik DKP Kota Bima itu, tentu lokasi yang salah sasaran. Pasalnya, ada lima hingga rumah ibadah yang ada di kawasan itu. Sebut saja mulai dari Mushola di POM bensin Amahami, Mushola di belakang kantor Koramil, Mushola Ulet Jaya, Mesjid Raya Kelurahan Dara, Mushola di Terminal Dara dan ada juga tempat ibadah di Pasar Raya Bima.
Tentu akan sangat disayangkan, membangun rumah ibadah di tengah jamaahnya yang tidak ada. Bukankah ini hal yang sia-sia!
Kesan memaksakan anggaran proyek ini dalam APBD 2017 dipertanyakan pula motivasi dan latar belakangnya. Sikap politik anggota DPRD Kota Bima pun dinilai tidak konsisten dan kontra terhadap kepentingan rakyat. Suara sumbang penolakan segelintir anggota dewan pun sempat terdengar. Walau suara itu berasal dari pimpinan Komisi III saja. Mengapa pimpinan dewan tak senada dengan suara komisi bidang pembangunan tersebut?
Kesan konspirasi dan perselingkuhan politik anggaran dibalik menggolkan anggaran pembangunan masjid yang kontroversial ini pun tercium dan kencang disuarakan oleh kalangan agen social control di Kota Bima.
Dugaan mumpung masih menjabat sebagai walikota, santer dituding menjadi dasar bagi Kepala Daerah untuk memaksakan pembangunan masjid terapung ini direalisasikan di tahun 2017 mendatang. Jika tidak sekarang, mungkin saja keinginan walikota itu akan banyak batu sandungannya.
Persis seperti saat H. Zainul Arifin yang menjabat menjadi bupati di tahun 2008 membongkar Mesjid Raya Al Muwahidin Bima yang ada di belakang kediaman Walikota Bima, tepatnya di Kelurahan Paruga. Maksud hati ingin membangun kembali ketika menjabat sebagai bupati, tapi apa daya, keadaan berkata berbeda. H. Zainul tak lagi diberikan kesempatan untuk menjabat sebagai bupati atau Walikota Bima. Berkali-kali lelaki yang akrab dikenal dengan panggilan Abuya itu menjadi kontestan di Pilkada Kota dan Kabupaten Bima. Tapi, publik lebih memilih H. Zainul menjadi rakyat biasa saja.
Imbasnya, pembangunan Mesjid Raya Al Muwahidin Bima menjadi terbata-bata, seolah pembangunannya berjalan di tempat. Nilai politis dianggap lebih penting dari pada nilai sosial dan budaya bagi kepala daerah yang menjabat di Kota dan Kabupaten Bima saat ini. Cerita akan berbeda, jika Abuya yang menjadi kepala daerah. Mungkin saja Mesjid Raya Al Muwahidin Bima, sudah megah seperti rencana sebelumnya.
Keadaan yang cukup ironi jika memperhatikan kebijakan pembangunan yang diambil Pemerintah Kota Bima khusus dalam membangun rumah ibadah (baca: masjid atau mushola). Semakin kontras kelihatannya, jika menganalisa postur APBD Kota Bima. Ada anggaran pembangunan masjid yang baru bernilai belasan miliar (baca: mesjid terapung) namun anggaran pembangunan Mesjid Raya Al Muwahidin yang terletak di jantung kota, dianggarkan se-ala kadarnya saja.
Bukankah, jamaah masjid raya sudah jelas jumlahnya. Dan masjid ini pun adalah ikon sekaligus simbol dan identitas ketimuran Kota Bima yang dikenal sebagai masyarakat religiusnya. Entah kebingungan atau mumpung masih menjadi walikota, hingga masjid raya tak penting bagi penguasa. Tapi, lebih penting membangun rumah ibadah yang jamaahnya tidak jelas jumlahnya.
APBD sudah diketok oleh Wakil Rakyat. Anggaran pembangunan masjid terapung telah tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) yang menjadi payung hukumnya. Pelaksanaannya tinggal menghitung hari di tahun 2017 nanti. Prosesnya, kemungkinan akan melalui tender lewat ULP-LPSE Kota Bima. Pertanyaannya? Masih adakah ruang agar kebijakan ini dipertimbangkan kembali. Semoga saja, dana masjid terapung tak melayang dan mengapung sia-sia.
Banyak pihak yang lebih sepakat, jika Rp 12 miliar uang rakyat dialokasikan kembali pada hal yang lebih prioritas. Butuh ketegasan rakyat dalam menyuarakan penundaan pembangunan mesjid terapung ini. Harapannya, program ini ditunda, dan dievaluasi kembali dalam pembahasan APBD Perubahan nantinya agar digantikan dengan program langsung dalam mensejahterakan rakyat Kota Bima.
Saatnya petisi dan suara rakyat untuk penundaan pembangunan masjid terapung ini disuarakan. Kebijakan Pemerintah Kota Bima ini tak ubahnya kebijakan ‘bingung’. Dibalik proyek ini, hanya ada kepentingan segelintir pemangku kekuasaan saja. Mereka memanfaatkan keadaan dan semata-mata karena keadaan mumpung masih menjadi penguasa saja, hingga program ini ingin dilaksanakan dengan segera. Wallahu’alam . ***
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan tulisan.