Kepala IFK Kabupaten Bima 'Ogah' Tanda Tangan Berita Acara Penerimaan Proyek Pengadaan Obat-obatan Tahun 2018 Senilai Rp3,6 Miliar
https://www.metromini.info/2019/03/kepala-ifk-kabupaten-bima-ogah-tanda.html
Surat berita acara penerimaan pengadaan obat dan gambar Kepala IFK Kabupaten Bima Nurkasna Wahyuni, S.Si, Apt, Mars. METROMINI/Dok |
KABUPATEN BIMA - Pengadaan obat-obatan dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) pada tahun anggaran 2018 lalu dengan menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kefarmasian yang ada di Dinas Kesehatan (Dikes) Kabupaten Bima akhirnya mendulang polemik.
Pasalnya, Kepala Instalasi Farmasi Kesehatan (IFK) Kabupaten Bima Nurkasna Wahyuni, S.Si, Apt, Mars yang merupakan kantor Unit Pelaksana Tehnis (UPT) di bawah naungan Dinas Kesehatan Kabupaten Bima, bersikeras enggan menandatangani surat berita acara serah terima barang berupa obat-obatan dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bima, dr. H. Ganis Kristanto P.
Kepala IFK Kabupaten Bima, Yuni biasa ia disapa menjelaskan, pada setiap tahunnya, kantor UPT IFK Kabupaten Bima selalu dimintai rencana untuk kegiatan pengadaan obat di Kabupaten Bima. Kendati, dalam setiap pengadaan tiap tahun kantor IFK tidak dilibatkan, yang semestinya harus dilibatkan dalam kegiatan pengadaan obat, Kondisi terparah terjadi di tahun 2018 lalu. Menurut Yuni, pada level perencanaan pun, kantor IFK Kabupaten Bima tidak dilibatkan sama sekali untuk pengadaan obat-obatan yang nantinya akan didistribusi ke 22 Puskesmas yang ada se Kabupaten Bima.
"Keberadaan kantor IFK dalam setiap tahun tetap dimintai data perencanaan untuk pengadaan obat di Kabupaten Bima. Dan idealnya, IFK pun dilibatkan dalam setiap pengadaan yang dilakukan. Namun, di tahun 2018 lalu, dengan nilai anggaran pengadaan sebesar Rp3,6 miliar, kantor IFK Kabupaten Bima tidak dimintai dokumen perencanaan pengadaan obat, apalagi dilibatkan dalam proses pengadaannya. Semua dilakukan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan dan juga PPK proyek," jelas Yuni.
Menurut dia, cara pengadaan obat-obatan dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) di setiap tahunnya yang tidak melibatkan kantor IFK Kabupaten Bima merupakan cara yang melanggar aturan. Semestinya, IFK Kabupaten Bima, sejak dari perencanaan, pengadaan dan proses distribusi obat harus dilibatkan. Namun, sejauh ini hanya dilakukan sepihak atau sendiri oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bima dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek.
"Kalau tahun-tahun sebelumnya. Kantor IFK Kabupaten Bima masih dilibatkan dalam hal perencanaan dan memang tidak pernah dilibatkan dalam pengadaan obat. Dan parahnya, proses distribusinya ke 22 Puskesmas yang ada se Kabupaten Bima pun dilakukan sendiri oleh pihak Kepala Dinas dan PPK," tandas dia, Rabu, 6 Maret 2019.
Yuni menjelaskan, sesuai keberadaan dan Tugas, Pokok dan Fungsi (tupoksi) kantor UPT IFK Kabupaten Bima, semestinya yang berhubungan dengan kefarmasian atau obat-obatan harus dilibatkan dari awal hingga proses pendisribusian dilakukan. Sebab, soal farmasi sudah merupakan leading sektor atau tanggung jawab kelembagaan yang diamanahkan sesuai dengan aturan yang ada.
Buktinya, kata Yuni, pihak dinas pun pada akhirnya membuat berita acara penyerahan obat ke kantor UPT IFK Kabupaten Bima yang merupakan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab dalam hal pengadaan obat dan proses distribusi serta penyalurannya kepada masyarakat yang diberikan melalui puskesma-puskesmas yang tersebar di Kabupaten Bima.
Buktinya, kata Yuni, pihak dinas pun pada akhirnya membuat berita acara penyerahan obat ke kantor UPT IFK Kabupaten Bima yang merupakan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab dalam hal pengadaan obat dan proses distribusi serta penyalurannya kepada masyarakat yang diberikan melalui puskesma-puskesmas yang tersebar di Kabupaten Bima.
"Untuk total Puskesmas di Kabupaten Bima ada 22 unit. Dan harusnya sesuai aturan kefarmasian, proses apapun yang berhubungan dengan obat, bahkan dalam proses distribusi, kantor IFK Kabupaten Bima harus dilibatkan. Kenyataannya, selama ini, baik dalam hal pengadaan maupun distribusinya di setiap tahun dilaksanakan langsung oleh pihak dinas," ujar dia.
"Dan di tahun 2018 lalu merupakan pengadaan yang terparah, sebab pada fase perencanaan saja kantor IFK tidak dilibatkan, baru sekarang Kepala Dinas Kesehatan meminta untuk mau menandatangani surat penerimaan obat sesuai dengan daftar yang dinas buat sendiri," pungkas dia menambahkan.
"Dan di tahun 2018 lalu merupakan pengadaan yang terparah, sebab pada fase perencanaan saja kantor IFK tidak dilibatkan, baru sekarang Kepala Dinas Kesehatan meminta untuk mau menandatangani surat penerimaan obat sesuai dengan daftar yang dinas buat sendiri," pungkas dia menambahkan.
Nama daftar jenis obat yang masuk dalam pengadaan obat-obatan DAK tahun 2018 senilai Rp3,6 miliar di Dinas Kesehatan Kabupaten Bima. METROMINI/Dok |
Lanjut Yuni, di tengah adanya pemeriksaan kegiatan khususnya dalam pengadaan obat-obatan di tahun 2018 lalu oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kebiasaan tahunan yang dilakukan Kepala Dinas Kesehatan yang dengan tiba-tiba menyodorkan surat agar mau menandatangani berita acara penerimaan obat-obatan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bima ke kantor IFK Kabupaten Bima. Sementara, kata Yuni, surat yang dimintai tanda tangan lengkap dengan nama-nama jenis obat yang diadakan tidak disertai pula dengan fisik obat yang diadakan pada tahun 2018 lalu.
"Saya heran, pengadaan obat-obatan ini dilakukan pada tahun 2018 lalu. Baru bulan Maret 2019 atau saat ini disodorkan surat berita acara serah terima barang berikut lampiran nama-nama ratusan nama obat dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bima. Surat yang diminta agar saya menandatangani itu tidak disertai dengan fisik obat atau data keadaan obat yang real atau yang sudah didistribusikan ke puskesmas-puskesmas," ungkap dia.
"Masa disuruh tanggung jawab semua pengadaan obat tersebut sesuai dengan redaksi surat di mana ada ratusan jenis obat yang nilainya Rp3,6 miliar dan kondisi fisik obatnya pun tidak saya lihat," sambung Yuni.
Ia mengatakan, cara yang dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan atau pimpinannya itu dinilai sangat mengangap rendah bawahannya yang seolah-olah harus mau melaksanakan perintah, di tengah perintah yang dimintai adalah sebuah hal yang janggal atau keliru.
"Cara seperti ini kan lucu. Saya tidak terlibat pengadaan, bahkan perencanaannya pun saya tidak tahu. Kondisi obatnya yang sudah selesai diadakan pun tidak diserahkan bentuk fisiknya, baru tiba-tiba disuruh tanda tangan dan menanggung semua obat yang nama-namanya dilampirkan sendiri oleh pihak Dinas inikan sepertinya kita bawahan yang modoh dan harus mengamini semua keinginan pimpinan, kendati hal itu merupakan sesuatu yang janggal," beber dia.
Kata dia, cara yang dilakukan dan yang diminta oleh Kepala Dinas Kesehatan itu ditolaknya, Yuni bersikukuh tak ingin menandatangani surat pada kondisi pengadaan yang tidak dimengerti olehnya sejak dari awal.
"Tiba-tiba didesak untuk tanda tangan dan disuruh bertanggungjawab pada semua pengadaan obat tahun 2018 yang fisik obat dan cara pengadaannya yang tidak saya pahami. Apa maksudnya Kepala Dinas Kesehatan, apalagi menyebut dan membawa-bawa nama Sekda Kabupaten Bima," sorot Yuni.
Dijelaskannya, ada 115 item jenis obat yang nilai pengadaannya sebesar Rp3,6 miliar. Sementara sepengetahuannya, dalam pengadaan obat-obatan tersebut dilakukan dengan cara membeli online pada distributor yang sudah terverifikasi pada situs LPSE dengan pembelian e-purchasing. Sementara, sambung Yuni, pada beberapa item pengadaan ada yang nilainya di atas Rp100 juta bahkan pada satu jenis barang dengan unit uang banyak mencapai nilai pembelanjaannya lebih dari Rp500 juta.
"Pengadaan inikan dilakukan secara e-purchasing. Artinya, jejak pembeliannya terekam dalam situs LPSE yang diawasi langsung oleh pemerintah. Dan di tengah diminta untuk ditandatangani, apakah memang telah benar pengadaan obat senilai Rp3,6 miliar dilakukan pembelanjaannya dengan sistim e-purchasing semua? Bagaimana jika ada yang terlewati atau ada obat yang tidak diadakan atau jumlah unitnya yang kurang?," cetus wanita kelahiran Kecamatan Sape, Kabupaten Bima itu.
Ditegaskannya, untuk permintaan pihak pimpinannya yang mendesak agar dia mau menandatangani berita acara pengadaan obat-obatan senilai Rp3,6 miliar, Yuni lebih memilih dimutasi ketimbang kemudian hari dirinya harus berurusan dengan pemeriksaan dari pihak penegak hukum dibalik pengadaan obat-obatanya yang dinilainya tidak prosedural sejak diawal karena tidak melibatkan kantor UPT IFK Kabupaten Bima.
"Saya lebih baik dimutasi, ketimbang harus menandatangani surat berita acara yang disebut-sebut pula oleh atasannya itu atas perintah Pak Sekda Kabupaten Bima agar segera ditandatangani surat berita acara tersebut," pungkas dia.
"Pada prinsipnya, saya tidak mau bermasalah kemudian hari, apalagi dalam pengadaan obat-obatan di tahun 2018 lalu, kantor IFK Kabupaten Bima tidak dilibatkan sama sekali," tegas ASN yang saat ini berdomisili di Kelurahan Mande, Kecamatan Mpunda, Kota Bima itu menambahkan.
Di sisi yang berbeda, pihak PPK dan juga Kepala Dinas Kesehatan serta Sekda Kabupaten Bima masih dimintai tanggapannya atas ciutan Kepala IFK Kabupaten Bima tersebut. (RED)
Mantap....semangat u ibu yg brani menjunjung tinggi nilai kebenaran
BalasHapus